"Beb, nasi padangnya kamu yang bayar yaa." |
Melihat
apa yang hangat diperbincangkan para selebtwit-selebtwit
di timeline gue siang tadi, gue
jadi keinget tentang beberapa kejadian yang gue alami, persis dengan apa yang
mereka permasalahkan siang ini. Yak, ‘Cowok mesti bayarin ini-itu duluan.”
Sebenarnya, topik ini udah
dibahas sama si downy pada “When Girl
Takes The Bills”. Tapi gue membahas lagi dengan versi gue sendiri. Yaaa gak
beda jauh sih dari si downy..
Semua
perbincangan yang dipermasalahkan dalam timeline
tadi, mendorong gue untuk membahas tentang Labil Ekonomi untuk Konspirasi
Kemakmuran pihak yang bersangkutan. Gue jadi flashback ke beberapa kisah dengan wanita-wanita yang membuat gue
memutar otak mengingat kejadian-kejadian tentang bayar-bayaran ini.
Jadi
gini..
Story
1
Dulu, gue pernah punya pacar namanya Dea. Sekarang udah
putus. Iya, karena beda agama terus LDR. IYA-IYA, SEKARANG DIA UDAH PACARAN
LAGI. PUAS?!
Ya,
Tuhan memang adil. Ketika ia dipisahkan dengan apa yang dia inginkan, Tuhan
memberikan apa yang ia butuhkan. Pacaran jarak dekat.
Oke, kembali ke cerita.
Gue sama Dea ini LDR. Dan gak bisa dipungkiri lagi, kalau
pacaran virtual ini pasti
menghabiskan ongkos yang melebihi kapasitas dompet. Selain LDR itu jauh dekat
tarifnya adalah kangen. LDR itu tarifnya juga kelangsungan. Iya, kelangsungan
bertahan hidup gue di beberapa hari kedepan karena kesehatan dompet tak
meyakinkan.
Kalimantan-Bali
itu jauh, nyet!
====
Dea
ini tipe wanita yang rela menghabiskan apa saja demi apa yang ia cintai. Jadi,
bisa dikira-kira si Dea menghabiskan ongkos yang lebih banyak ketimbang gue
yang kesehatan dompetnya kembang-kempis. Tapi bukan berarti gue gak ngeluarin
duit juga selama pacaran sama dia. Perlawanan biaya gue gak kalah banyak juga
sama biayanya dia. Tapi tetep, banyakan dia.
Dari mulai acara anniv-anniv-an sampe ultah-ultah-an, Dea
selalu memberikan sesuatu yang spesial. Entah itu berupa cake, pakaian, sandang, pangan, pacar baru, dan lain-lain sampai
jam tangan Ben10 pun ia belikan.
Padahal semua itu gak ada yang gue minta sama sekali. Beruntung ya jadi gue?
Iya, beruntung sekali. Sayangnya keberuntungan itu baru gue sadari setelah
kehilangan dia. #tsurhat
Waktu gue bangun tidur di hari anniversary, tiba-tiba aja ada kiriman cake dari Dea. Dan itu gak cuma di saat anniversary doang. Di hari-hari biasa
kalau dia mau beliin kue, dia pasti langsung ngirimin. Gue mulai curiga,
jangan-jangan dia jualan kue di Bali. Atau emang si Dea ini terbuat dari adonan
yang sama seperti cake-cake lainnya?
Sampe pipinya aja pengen gue topping-in
cokelat, terus gue makan dengan membabi-buta.
Entah saking tulus cintanya
atau sayangnya, si Dea ini tak pernah menghitung jumlah rupiah yang ia
keluarkan untuk gue. Keren..
Dulu, waktu liburan sekolah, gue pernah datengin si Dea
ke kota antah-berantah. Iya, ini kali pertamanya gue ketemu sama si Dea. Gue
datengin Dea diam-diam. Iya, buat surprise
gitu. Dan pastinya, perjalanan yang gue tempuh itu biaya transportasinya
gak murah. Dan itu make duit gue semua. Gak mungkin kan minjem duitnya Dea?
Masa surprise bilang-bilang? Kan gak
lucu.
Masa gini..
“Sayang, aku mau kasih kamu
surprise. Tapi kekurangan uang.. Boleh gak minjem uang kamu dulu?”
“Surprise-nya apa dulu?”
“Ada deh.. Yang jelas bukan
datengin kamu ke sana, terus beliin bunga kok..”
“Hmm. Awas boong ya! Aku
kirimin yah sayang. Mwaah..!”
“Mwaaah!”.
Gak lucu abis.
Jadi,
gue mutusin untuk memilih cara yang tidak menyehatkan. Nabung uang jajan gue
berminggu-minggu cuma untuk datengin sang pujaan hati. Ciyee.
====
Sesampainya
di sana, gue sama Dea makan di Rumah makan yang dibilang lumayan terkenal di
Kota tersebut. Gue mesen nasi goreng dan jus alpukat. Begitu juga dengan Dea.
“Mbak, saya pesen banana split-nya satu.” Kata gue sambil
menambahkan menu yang sudah ditulis nasi goreng dan jus alpukat.
“Wah, adanya banana kayang aja mas..” Tuturnya.
Mbaknya ini lucu juga.
Lama-lama gue pacarin nih..
“Itu aja pesenannya mas?”
Tanya nya lagi.
“Iya mbak.. Emm, sayang,
kamu mau nambah pesenannya?” Tanya gue ke Dea yang dari tadi membolak-balik
menu makanan juga.
“Engg.. Enggak deh ay. Aku
pengen nasi goreng doang..” jawabnya.
“Udah mbak, itu aja dulu..”
“Baik mas, ditunggu pesanannya,
terima kasih..”
“Sama-sama mbak.”
Mbaknya manis juga ternyata..
Oke lupakan.
Beberapa menit kemudian,
pesanan gue sama Dea dateng. Karena cikal-bakal naga dalam perut gue sudah
tidak bisa dikendalikan lagi, gue langsung melahap nasi yang bercampur dengan
taneman-taneman tersebut.
Dea ngeliatin gue.
“Sayang? Makannya kok gak
pake perasaan gitu?” Dea nyeletukin gue sambil
senyum-senyum-manja-gimana-gituh.
“Engg. Iya nih ay, bayi
dalam perut aku udah nendang-nendang.” Iya, bayi. Bayi naga alias cacing.
“Sayang, iiiihhh..” katanya
sambil menambah skala senyum, diiringi tatapan nanar yang melukiskan rasa
gemes.
Rasanya, matanya Dea mau
gue colok pake garpu. Terus gue makan sama nasi goreng, saking gemesnya..
Dan tentu aja gak gue lakuin.
Setelah menghabiskan sekelompok
beras masak yang berminyak itu, tanpa pikir panjang gue langsung menarik piring
yang berisikan banana split.
“Sayang, kamu mau coba? Ini
enak lhoo..” Tanya gue sambil melahap ice
cream yang berlumuran di banana split
tersebut.
“Aku lagi diet sayang.. Aku
lagi gak bisa makan ice cream..”
“Ohh gitu.. Oiya, ini kok
pisangnya kecil banget ya?”
“Kecil gimana? Ukuran
pisang kan emang segini-gini aja..” Dea mulai bingung.
“Iya. Perasaan kan, banana split itu pisangnya gede-gede.
Terus bisa dinaikin gitu..”
“ITU BANANA BOAT SAYANGGGG…” jawabnya sambil nyubit kecil perut gue.
“Wah, berarti aku salah
mesan nih. Sial!”
“…”
Mungkin dalam hati Dea yang
paling dalam berkata “GINI AMAT PACAR GUA.”
Suapan terakhir banana split telah masuk ke mulut gue.
Dengan wajah ganteng-ganteng-gimana-gitu, gue manggilin mbak-mbak waitress-nya.
“Mbak, bill untuk meja 14 ya..”
“Sebentar mas.. Ini mas bill-nya. Totalnya 44 ribu..”
“Oke mbak..”
Gue langsung ngeluarin
dompet dan berusaha mencari kehidupan di sana. Dalam kesibukan mencari, Dea
langsung narikin dompet gue.
“Ini mbak uangnya.
Kembaliannya diambil aja mbak..” Dea menarik lembaran 50 ribu dari dalam
dompetnya, lalu memberikannya kepada mbak-mbak gemes ini.
“Sa-sayang.. Kenapa jadi
kam..” Belum selesai gue ngomong, Dea udah memotong lagi.
“Udah gakpapa, aku aja yang
bayar.”
“Bukan itu. Maksud aku,
kenapa kembaliannya dikasih ke mbaknya? Kenapa nggak ke aku aja?! KENAPA?! KAMU
JAHAT!!”
Oke nggak gitu.
“Tapi kan, aku yang mesan
banyak. Aku aja yang bayar ya..” kata gue sambil menarik kembali dompet gue.
“Udah sayang, gak papa kok.
Kan kamu udah jauh-jauh datengin kesini.. Lagian mbaknya udah pergi juga. Udah
deh..” jawabnya pelan.
“Ta-tapi kan.. mbaknya
cakep.”
“Udah deh sayang.. Ayuk
pulang yuk..” katanya lagi sambil narik tangan gue.
Gue cuma bisa diem.
Gue kecewa. Kan gue udah
susah-susah ngitungin koin 100 rupiahan sampe 43 ribu. Eh malah dia yang bayar.
Ah kecewa lah..
Sepanjang perjalanan
pulang, gue cuma bisa diem. Dalam hati yang paling dalam, gue merasa bersyukur
sekali punya seseorang seperti Dea. Perhatiannya tanpa batas, pengertiannya tak
mengharap balas. Ah Dea.. jangankan
yang berdetik, yang berdetak saja rela kuhabiskan bersamamu..
Gue jatuh cinta dalam diam.
Semenjak
malam itu, gue sama Dea jadi terbiasa melakukan peraturan yang tak tertulis.
Iya, kalau gue yang datengin doi, biaya makan dan lain-lain doi yang tanggung.
Begitu juga sebaliknya. Jadi, gak ada pihak yang merasa dirugikan atau
apalah-itu-namanya.
Bagi kalian yang LDR,
mungkin kalian bisa meniru cara yang seperti ini. Tapi gue nggak nganjurin.
Cuma memberikan bahan pikiran, misalnya kalian lagi berada ditengah-tengah
masalah ‘bayar-bayar’-an ini.
Gue sama Dea, nggak pernah
mempermasalahkan biaya.
Karena kami tau bahwa masalah
dalam LDR, bukan hanya sebatas
rupiah.
Uhuk.
Story
2
Kejadian
ini, baru aja gue alami beberapa minggu yang lalu. Tenang-tenang, ini bukan
tentang LDR lagi kok…. Tapi tentang pacar orang.
Jadi
gini, intensitas gue main twitter berbanding
lurus dengan kelakuan maba-maba-gemes yang baru masuk kuliah. Yak, RAJIN.. Karena
keranjingan gue di sosial media ini, nggak
menutup kemungkinan untuk bertemu dan bermensyenan dengan akun-akun wanita yang
‘aduhay’. Ya gitu, saling follow aja dulu. Masalah dm-pin-bb-atau-id-line itu
perkara belakangan. Hehehe..
Dari dunia maya ini lah,
dihadirkannya seorang malaikat tanpa sayap ke tab mention gue. Namanya kita
samarkan sebagai Farah. Doi ini seorang pegawai bank. Iya-iya, doi teller bank.
Inget, tellernya jangan typo. Jangan keketik P. Nanti jadi Tellep..
Yah, kalian semua pasti
sudah tau kan. Kalau ada bidadari-bidadari yang menyapa, nggak disia-siain
begitu aja. Sebagai lelaki sejati, jiwa Don Juan gue meluap-luap. Tanpa pikir
panjang lagi, gue maintain konaknya… Ah bukan. Maksud gue, kontaknya.
Singkat
cerita, hubungan gue sama Farah semakin memperlihatkan kemajuan. Percakapan via
LINE kami sudah mulai ke jenjang yang
lebih serius. Sayangnya, si Farah ini sudah memliki kekasih. Farah berada di
kota X, kekasihnya di kota Y. Dan gue di titik 0. Titik temu X dan Y. Apa? Iya,
LDR. Farah LDR dengan kekasihnya, dan sekarang lagi dekat sama gue yang juga
LDR dengan dirinya sendiri. Karena LDRnya komplikasi sama 3 orang ini, akhirnya
hubungan gue sama Farah mulai memburuk. Sejak ia mengatakan memilih kekasihnya,
aku tak pernah memilih untuk menghubunginya lagi..
Yah namanya juga LDR.
Sesuai dengan pribahasa; “Tiada LDR yang
tidak retak.”
Hingga
pada suatu sore, gue lagi asik ngescroll-scroll timeline instagram gue. Banyak foto-foto bidadari-bidadari di sana.
Ada yang pake hotpants lah, ada yang pake tanktop lah, ada yang gak pake
apa-apa lah. Pokoknya macem-macem. Dan entah ada angin apa, gue jadi pengen stalk instagramnya Farah. Setelah
mengetik username instagram yang sama
persis dengan username twitternya
tersebut, kolom search melakukan
tugasnya.
Foto-fotonya Farah
terpampang dengan berbagai rasa. Ada rasa nanas, strawberry, mangga, jeruk,
apel, samsung.. Wait.. WHAT?! Oke,
yang paling gue suka adalah rasa anggur. Dia semakin didiemin, semakin memabukkan.
Buat gue kepikiran tak berkesudahan. Ahh.. Farahh.
“Goodnight
fellas. Goodnight Surabaya..”
Dengan pose memeluk selimut
dan mata sayu yang diiringi kalimat tersebut, membuat postingan fotonya semakin
tak bosan gue pandangi.
Gue hening sekian detik.
Wait..
Surabaya? Farah lagi di Surabaya?!
Gue masih gak percaya.
Dengan rasa penasaran tingkat tinggi, gue langsung nge-line Farah.
“Emm.. Farah, kamu lagi di
Surabaya?”
“Iya nih. Hehehe, kenapa Fan?”
“Dalam rangka apa? Bukan
untuk menjemputku ke kahyangan kan?”
“Hahahaha. Apaan sih… Aku
lagi ada training gitu fan.. Tiga
hari gitu..”
“Hmmm. Yasudah, kamu
selesai training, aku jemput ya?”
“Mau kemana? Aku selesainya
sore.”
“Cuma mau memastikan aja.
Kalau bidadari itu, nyata adanya.”
“…”
Gue tau, Farah pasti
langsung banting hapenya, terus diblender dijadiin jus Apel.
====
Besoknya, gue langsung jemput Farah sesuai dengan waktu
yang telah kami sepakati. Jam 5 sore. Di sana, di depan Hotel tempat ia
bermalam, gue udah standby di atas
motor dengan wajah yang diganteng-gantengin (sebenarnya udah ganteng sih). Tak
memakan waktu yang lama, dari balik lobby hotel Farah muncul dengan sayap yang
dikepakkan kesana-kemari. Dari situ gue akhirnya percaya kalau bidadari itu,
benar adanya.
Karena sore sudah mau
berganti malam, kami pun memutuskan untuk memulai perjalanan yang entah kemana.
“Farah, ini kita mau
kemana?” Tanya gue ke Farah yang dari tadi cuma diem sambil menolehkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Emm, aku laper. Cari makan
aja yuk..”
“Yaudah, kita ke TP aja ya?
Sekaligus nonton. Gimana?”
“Jauh nggak? Kalau jauh,
mending gak usah deh. Entar ngerepotin kamu..”
“Engg, enggak kok. Dekat. Tak ada yang namanya jauh, ketika aku
sedang berdekatan denganmu. Farah..”
“Kamu gombal ih!” katanya
sambil mencubit pinggang gue dengan tak punya rasa yang manusiawi.
Lalu tawa keras pecah
diantara kami berdua.
====
Sesampainya disana, gue sama Farah langsung menuju tempat
makan yang ia pilih sendiri. Gue yang udah mempersiapkan mental dompet, dengan
santainya menyetujui apa saja yang ia inginkan. Apa pun.
“Emm, kamu mau makan apa?”
Tanyanya.
“Aku nasi goreng aja. Sama
es teh. Kamu apa?”
“Aku mie goreng aja deh.
Sama es teh juga.”
“Yaudah… Mbak, nasi
gorengnya satu. Mie goreng satu. Sama es teh nya dua.” Kata gue ke mbak-mbak
yang jaga konter makanan ini.
“Sebentar ya mas. Totalnya
55 ribu..”
PRIITTTT!
Gue langsung ngeluarin kartu merah. Ah
bukan.. Gue langsung ngeluarin dompet.
Belum selesai prosesi
mengeluarkan dompet ini, Farah langsung nyamber.
“Aku aja yang bayar Fan.
Kan kamu tadi udah jemput aku..”
“Enggak kok, gak papa. Aku
aja yang bayar.” jawab gue seadanya.
“Enggak usah aku aja. Kamu cari
tempat duduk gih.”
“Kamu aja yang nyari tempat
duduk, aku yang bayar ya..”
“Iiih aku aja!”
“AKU!” Teriak gue dengan
satu tanda seru.
“AKU!!” Farah membalasnya
dengan dua tanda seru.
“AKU!!!” Tidak mau kalah,
gue pun menambahkan satu tanda seru lagi.
“Mbak, mas. Ini jadi
dibayar ndak?” Tanya mbak-mbaknya yang cuma mangap ngeliatin kami.
“DIAM!!” kata gue sama
Farah serentak.
Satu Surabaya ngeliatin
kami.
“…”
Karena suasana sudah tak
kondusif, akhirnya gue memutusin untuk mengalah. Yah selain cowok selalu salah,
cowok juga selalu mengalah. Life..
====
Setelah selesai makan, kami menuju studio 21. Sebelum masuk, gue udah ancang-ancang. Kali ini, harus
gue yang bayarin nonton. Entah bagaimana pun caranya, harus gue. Selang berapa
detik, ide cemerlang gue muncul. Gimana kalau si Farah gue suruh beli pop corn, sedang kan gue langsung beli
tiket dengan secepat mungkin tanpa sepengetahuan dia.... Brilliant.
“Farah, kamu beli pop corn gih. Biar ada cemilan entar pas
nonton.” Kata gue sambil menepuk pundaknya Farah, yang sedari tadi fokus dengan
hapenya.
“Kamu mau nyemil? Iya deh.
Tunggu bentar ya.” Dengan mudahnya si Farah melakukan taktik brilliant gue tadi.
Tanpa membuang waktu
banyak, gue langsung kabur ke loket tiket. Gue memesan dua tiket City of Bones seharga 60 ribu. Diam-diam
gue ngeliat ke arah Farah. Dia sedang sibuk memilih-milih pop corn apa yang baik dan benar. Rencana gue berjalan dengan
sempurna. Iya, emang. Kecemerlangan pemikiran gue memang tak terbatas. *sigh
“Totalnya 60 ribu mas..”
Kata mbak yang jaga loket.
“Oke mbak.” Gue ngeluarin
dompet. Menghitung rupiah demi rupiah. Dan mengeluarkan daun seharga 100 ribu.
Baru gue mau nyearahin uangnya,
tiba-tiba mbaknya bilang gini.
“Ini tiketnya, sama
kembaliannya 40 ribu ya mbak..”
Bentar-bentar. Kan gue
belum ngasih duitnya. Kok udah ada kembalian aja? Terus kenapa gue dipanggil
mbak? Kenapa ganteng gue semena-mena? Belum selesai gue berbicara dengan
pikiran sendiri, tiba-tiba..
“Makasih ya mbak. Yuk fan.
Filmnya udah mau mulai tuh..” Kata Farah.
“Loh?” Gue bingung-bingung
ganteng. “KOK KAMU ADA DISINI?! BUKANNYA KAMU….. BUKANNYA KAMU…. POP CORN-NYA UDAH KAMU BELI?!!” gue
ngeliat ke Farah yang sudah ada entah-sejak-kapan disamping gue.
“Udah kok. Ini aku udah beli
yang rasa karamel.” Jawabnya.
“TAPI KAN.. TAPI KAN…… KOK
KAMU ADA DI SINI?!!!”
“Udah deh. Studio-nya udah
buka tuh.. Ayo buruaaan..” Farah narik tangan gue.
Gue hening.
Kenapa semua ini terjadi ya
Tuhan.. Kenapa rencana gue gagal begitu aja. Kenapa ini Farah geraknya cepet nggak
manusiawi. Kenapa… Kenapa…
Gue merenung di tengah
kegelapan studio 4.
====
Iya, Farah ini pacar orang. Dia sedang menjalin hubungan
dengan lelaki lain, via jarak jauh. Dia, tak pernah mempermasalahkan tentang
biaya dalam menjalin hubungan. Entah karena ia sudah berpenghasilan, atau
memang ia sudah berpola pikir layaknya orang dewasa. Yang jelas, dia punya
nilai tersendiri di mata gue.
Apa? Iya. Gak gue pacarin.
Karena apa? Karena dia terlalu baik, untuk gue rusak hubungannya dengan
kekasihnya. Walaupun sebenarnya, dia menyimpan rasa yang sama. Sama seperti apa
yang gue rasain padanya waktu itu.
Ya, itu lah cinta.
Jangankan untuk yang pasti. Untuk yang tak pasti saja, ia rela merelakan apa
pun. Termasuk biaya. Jadi, kalian mempermasalahkan cowok atau cewek yang harus
bayarin ini-itu duluan? Goodluck aja
deh ya.
Dari semua itu, gue jadi lebih paham. Apa yang mereka
katakan tentang cinta. Kalau cinta itu, tak pernah mengenal pengorbanan.
Dan seperti yang kalian baca di atas. Sekarang, gue
sedang merasakan apa yang barusan gue bahas. Malah lebih dari sekedar tentang ‘Untuk yang tak pasti saja, ia rela merelakan
apa pun. Termasuk biaya.’
Jadi, baru-baru ini, gue
bertengkar hebat dengan seorang perempuan. Pertengkaran yang tak habis jika tak
diselesaikan dengan pertemuan. Tak semua hal bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Maka dari itu Tuhan menciptakan yang namanya pelukan. Gue pergi ke Jakarta, datengin
seseorang. Untuk meminta kejelasan hubungan. Dan tentu saja, ini menghabiskan
biaya yang tidak sedikit. Gue membuat keputusan. Sebuah keputusan besar. Hanya
untuk bertemu dengan dia.
Iya.
Di sorot lampu parkiran bandara. Aku
turun dari mobil yang bermuara. Di sana aku berencana, untuk melakukan
perjalanan lama.
Perjalananku
panjang. Aku menuju jalan pulang. Pulang kepadamu.
Dengan segala ramah-tamah,
aku jadikan kau sebagai rumah. Tempatku berkeluh-kesah. Tempatku mengeringkan
peluh yang membasah.
Pesawatku
telah tiba. Tiba di Ibukota. Tempat aku membuka semua luka.
Aku tau, aku main api.
Menyakiti diri sendiri. Aku bukan sekedar mengejar yang tak pasti. Aku
mengejar, tentang patah hati.
Kata
mereka, jangan nekat. Tapi bagiku, apapun akan ku lakukan agar kita dekat.
Mungkin, ia memang tak
sempurna. Tapi mataku tak bisa berhenti memandangnya dengan cara yang tidak
biasa.
Ingatlah sayang..
Jangan patahkan semangat lelakimu,
ia hanya punya satu. Patahkan saja semangatnya memperjuangkanmu. Ia punya
seribu.
Tunggu
aku,
Shean.
Ditulis dengan penuh kesadaran oleh @irfannyhanif.
Wrote by Don Juan