Never try you will never
know. Kau tak akan pernah tau, jika tak mencobanya.
Suatu laut, tak akan pernah kau ketahui dalamnya, sebelum kau menyelaminya.
Sama seperti halnya dalam memulai hubungan. Kau tak akan pernah tau perasaan
seseorang setidaknya setelah berani mengungkapkannya. Jika kau tak sanggup
mengungkapkan, orang lain yang akan duluan mengutarakan. Iya-iya, ditikung.
Pacaran aja belum, udah
ditikung aja.
Hih.
Gue
mau cerita sedikit tentang pengalaman yang tidak seberapa. Enggak kok, enggak.
Ini gak berakhir di tikungan, enggak.. Kejadian ini gue alamin waktu gue masih
duduk dibangku kelas 2 SMA. Waktu itu, gue masih menjabat sebagai Ketua ekskul
taekwondo dan ekskul band. Otomatis, dengan beberapa kegiatan tersebut gue
sering menampakkan diri di beberapa kegiatan sekolah. Dan secara tidak langsung
juga gue bisa disebut dengan anak ‘eksis’.
Kamu tau eksis kan?
Iya-iya, kartu telepon. Aku anak kartu telepon.
Dengan
banyaknya kegiatan ini, membuat gue menampilkan diri di banyak acara. Tak bisa
disangkal, dengan banyaknya penampakan diri di khalayak ramai, gue dijadikan
ajang cuci mata bagi para wanita.
Gue tau kalian pengen
muntah. Tapi mengertilah.. Bertahanlah..
===
Siang
itu, setelah mewarnai acara sekolah dengan beberapa permainan musik, gue yang
masih penuh peluh menenteng tas gitar menuju ke kantin sekolah untuk membeli
segelas Pop Ice. Cuacanya terik sekali. Mataharinya seperti pelukanmu, tak
pernah dingin, tak juga menghangatkan.
“….”
Selang beberapa langkah menuju kantin,
terdengar suara samar dari belakang workshop
sekolah. “Flashdisk-nya aku pinjem
dulu ya Rin..” Senyumnya pada rini, sambil melambaikan tangannya dengan flashdisk
yang bergantung tali.
“Iya,
besok jangan lupa dibalikin ya Yur.” Ujar rini sambil menggulung charger laptopnya.
Bukan, namanya bukan sayur.
Tapi Yuri.
Yuri
ini beda setahun sama gue. Tinggi badannya hampir menyerupai tinggi badan gue.
Kulitnya putih kekuning-kuningan, kuning keputih-putihan. Intinya dia bening.
Pokoknya begitu. Dan bagian yang paling gue suka dari si Yuri ini adalah,
matanya. Matanya sayu, dengan alis yang tak kalah sayu pula. Dengan pandangan
yang sayu banget ini, buat gue cemas. Bagaimana jika tatapannya tertuju ke gue?
Bisa luluh-lantah pandanganku dibuatnya.
Tsaaaah..
Ya, Yuri
adalah murid baru. Masih kelas 1 SMA. Masih polos. Masih belia. Kalau
diibaratkan dengan Game, ia masih newbie.
Masih anak ayam. Tapi skillnya tak bisa diragukan. Beda dengan gue, meskipun
berusia lebih tua dari dia, tetep aja sikap dan prilaku gue masih seperti newbie.
Gue
yang mendengar percakapan singkat tersebut, langsung menoleh ke arah sumber
suara. Pas gue noleh, eh nggak ada apa-apa. Gue parno sendiri.. darimana kah
asal suara tadi? Ternyata, gue salah noleh. Sumber suaranya di kanan, gue nolehnya
ke kiri.
“….”
Pas
gue noleh, keadaan seketika menjadi hening.. Suasana sunyi. Matahari
bercahaya-cahaya waktu itu. Daun-daun sakura berguguran. Tak cukup dengan
sakura, naruto dan sasuke juga turut berguguran untuk menggambarkan bagaimana
sunyinya waktu itu. Peluh gue pudar seketika disapu angin, dahaga gue sirna
diseka pemandangan.
Tak
bisa dipungkiri, ingin sekali aku bawakan dia bunga mawar setengah berduri. Ia
pegang di tengah sisi, sisanya kusimpan sampai mati. Belum sampai setengah
hari. Belakangan aku sadari. Aku tengah
jatuh hati. Dalam sekali..
===
Siang
yang penuh terik itu sekilas dikosongkan dengan sejuk pemandangan yang tidak
lain dan tidak bukan adalah wajahnya Yuri. Gue diam seribu bahasa. Bahasa
Inggris, Prancis, Jepang, Korea gue bungkam semua. Bukan karena Yuri, tapi
karena emang gue nggak ngerti bahasa alien yang gue sebut diatas.
Keesokan
harinya, gue mulai mencari info lebih tentang Yuri. Dengan penuh perjuangan,
gue menggali informasi dari nge-search
FB-nya, Nanya ke teman-temannya, sampai nanya ke bule-kantin-yang-gak-ada-hubungannya-sama-sekali
pun gue lakuin. Dan Alhamdulillah… tak membuahkan hasil.
Hampir
semua cara udah gue coba untuk mendapatkan informasi tentang Yuri. Gue
penasaran. Gue kasmaran. Gue gak tau mesti mencari dimana lagi info lebih
lanjut tentang si Yuri ini. Dengan wajah yang bingung-bingung ganteng, gue
putus asa. Ya, walau ini bukan cinta diam-diam, gue tau, gue cuma bisa berjuang
sendirian.
Beberapa
pekan kemudian, buku tahunan sekolah terbit. Gue yang udah nggak sabar melihat
kegantengan gue diumbar-umbar di buku tahunan sekolah itu pun, langsung gue beli. Iya gara-gara beli itu buku, setiap jam istirahat ke kantin
gue cuma makan goreng-gorengan sama cabe-cabean. Minumnya air putih doang.
Mahal, nyet.
Buku
Tahunan Sekolah yang harganya mencemaskan kesehatan dompet dan kebaikan gizi
gue di beberapa hari ke depan itu, akhirnya sudah sampai di tangan. Untung jatuh di tangan yang tepat. Bayangin cobak
gimana kalau sampai jatuh di tangan yang salah? Dipegang oleh penjahat-penjahat
kelas kakap. Poto gue bakal di-kumel-kumel-in, diaduk sama pur, lalu dijadikan
umpan mancing ikan patin. Tidak berkepri-iri-karena-ganteng-sekali.
Dengan
wajah yang antusias-antusias ganteng, gue membuka lembar demi lembar buku
mantra tersebut. Setelah poto demi poto terlewat, ada wajah yang tak asing.
Lembarnya paling berwarna, gue kaget setengah mati. Ini seperti halaman
spesial. Background-nya pepohonan
rindang. Pengambilan gambarnya keren, sosok yang ada di poto tersebut pun tak kalah
keren. Gue sempet ngebatin “Anjis! Ini keren banget!” Belakangan gue selidiki dan mendengar kabar
burung dari orang-orang, ternyata
sosok yang ada di poto tersebut adalah.. gue.
Tepuk
tangannya mana?
Akhirnya
gue nemuin potonya Yuri. Dengan dress setengah
formal dan sepatu hak tinggi, Yuri terlihat seperti bidadari tanpa sayap.
Mungkin, sayapnya patah setelah berterbangan di akal sehat dan menabrak
fondasi-pfndasi ingatan gue. Ahhh, Yuri.. I’m
in love…
Dibagian
bawah poto tersebut, terdapat keterangan tentang karakter-karakter yang berada
pada poto di atas. Dan tentu saja, di bagian keterangan tersebut, gue dapet
nomer handphone-nya si Yuri. Ini
merupakan hal keenam dari kebahagiaan gue selama ini.. Lho, satu sampai kelima apa? Ya tetep.. Pancasila.
Dari situlah, PDKT gue
bermula..
===
Singkat
cerita, hubungan gue sama Yuri semakin dekat. Perang komunikasi tak bisa
dihindari lagi. Bom pesan-pesan gue dibalas dengan gencatan pesan-pesannya yang
tak kalah meluluh-lantakan perasaan pula. Ranjau-ranjau kode yang gue tebar
ditanah-perpesanan kami pun ia balas dengan hujan peluru berupa perhatian yang
tak henti pula. Seharusnya, gue mengenakan kevlar.
Tapi terasa percuma. Ia menyerang lebih pertama. Dengan satu bidikan ke
arah kepala, tatapan matanya sukses menembus sukma. Membuat asa. Berupa rasa.
Pandanganku tertembak, tapi hatiku yang berdarah-darah.
Romantis ya.
Sampai
pada suatu ketika, libur panjang datang dan menyapa. Gue yang kota asalnya
berdomisili tetanggaan dengan kota asalnya Yuri pun, memutuskan untuk merayakan
perjalanan pulang kampung bersama.
Keesokan
harinya, tepatnya jam delapan pagi, gue berada dalam perjalanan menuju Kota
Balikpapan. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua jam dari Samarinda
itu cukup untuk membangun chemistry
di antara kami berdua. Iya berdua. Sopirnya di depan, gue sama Yuri berduaan di
kursi tengah. Bayangin coba apa yang kami lakukan? Yak benar sekali. Ngopek-ngopekin
jok mobil.
“Kak.. Kak irfan.. Woy
kak!! WOY!!!” Jerit Yuri sambil menaruh kopekan jok mobil di kepala gue.
“Apaan wey teriak-teriak?!”
“BANGUN KAK UDAH SAMPAI!!”
“IYA SANTAI NAPA!!”
“GAK BISA! APA LO?!!”
“APA?! SINI LO!”
Kemudian tikam-tikaman..
Gue
dibangunin sama Pak Udin alias Supir yang mengendarai mobil kami dari Samarinda
tadi. “Mas irfan, sudah sampai bandara mas..” Kata Pak Udin sambil membukakan
pintu mobil.
“Eh, iya pak..” kata gue
dengan wajah bangun-bangun-ganteng-gimana-gitu.
Ternyata, sepanjang perjalanan tadi gue cuma tidur. Ya
maklum, malamnya kan nggak bisa tidur gara-gara mikirin Yuri. Sedangkan Yuri-nya
sendiri nggak tidur sama sekali. Bisa-bisanya dalam keadaan berdua dengan Yuri,
gue ketiduran. What a miss!
Dengan mengumpulkan
kegantengan yang pudar saat tertidur tadi, gue ngasih uang 250 ribu ke Pak
Udin. “Terima kasih ya pak..” Kata gue sambil memberikan uang yang tertutup
salaman.
“Iya mas, sama-sama. Lain kali, mbak Yuri nya jangan
ditinggal tidur dong mas. Masa pacaran diem-dieman sih? Lagi marahan ya?” Jawab
Pak Udin sambil cengegesan.
Gue yang masih dalam fase PDKT dengan si Yuri cuma bisa
hening. Yuri juga hening, sambil ketawa-ketawa garing. Air yang bening,
menyurut kering, mengernyit kening. You
know what it is? It is awkward feeling..
Panggilan
dari operator staff pesawat pun memecah keheningan tadi. Menegur untuk memasuki
pesawat pilihan kami. Di perjalanan dari tuang tunggu menuju pesawat, gue sama
Yuri cuma saling diam. Terkadang kami saling menangkapi diri kami sedang
senyum-senyum sendiri, karena kejadian tadi.
“Yur.” Gue memalingkan
tatapan ke arahnya.
“Iya kak?” Jawabnya.
“Kata-kata Pak Udin tadi
lucu ya.. Padahal kan kita belom jadian. Hahaha..” Kata gue sambil ketawa
garing.
“Iya kak. Hahahaha..
Padahal kan NGGAK jadian. Hahaha.” Tukas Yuri sambil memberi penekanan pada
kata “Nggak”.
“…..”
Bau-bau kegagalan kayaknya
tercium di strategi terindah gue.
Langkah gue gontai..
===
Sesampainya
di dalam pesawat, gue ditakjubkan oleh bidadari dengan roknya yang sobek sepaha.
Ah, sudah berdua dengan Yuri, dihadirkan pula bidadari lain. Nikmat Tuhan mana
lagi yang bisa aku dustakan.. “In Pramugari
Ber-rok-sobek-sepaha We Trust..”
“Tempat
duduk nomer berapa mas?” Tanya pramugari
yang mendilemakan hati gue ini.
Gue
nggak bisa fokus kalau begini ceritanya. Mata gue nggak bisa diem. Pandangan
gue jalan-jalan ke daerah leher dan sekitarnya. Ah.. seandainya mbak pramugari
ini tersedia dalam bentuk sachet, gue
beli dua. Biasanya kalau beli dua, kan gratis satu. Biasanya..
Gue diem.
“Mas?” Tanyanya lagi.
“Eh, iya. 36B mbak…” Jawab
gue spontan.
Mbak pramugarinya diam,
perlahan bergerak menjauhi gue dengan tangan yang disilangkan di dadanya.
Seketika itu juga pandangan gue ke dada mbak pramugari, sirna.
“Eh maksud saya 15B mbak,
berdua dengan mbak ini 15A” Kata gue yang mengklarifikasi sambil nunjuk si
Yuri.
Duh gusti.
Kemudian
kami ditunjuk tampil ke depan.. Ah bukan. Kami ditunjuk ke arah kursi yang
bernomer 15A dan 15B. Kami berjalan melewati tempat duduk lain sebelum pada
akhirnya duduk di nomer tersebut. Sambil mengencangkan sabuk pengaman, gue
merhatiin Yuri. Mukanya innocent banget, pipinya yang lebih aman
daripada pelampung pesawat ini pun pengen gua pakai, terus menarik batang hidungnya.
Jika pipi tak mengembang, tiup kedua bibir merahnya. Kedua kelopak akan
menyala, jika sumbat mata terendam air.
Beberapa
saat kemudian, pilot memberi aba-aba pada awak kabin dan seluruh penumpang
bahwa pesawat akan lepas landas. Tak lama setelah aba-aba tersebut, Yuri
menggenggam kencang gagang kursi. Dia nampak ketakutan sekali. Naluri gue
sebagai Don Juan pun menyeruak ke permukaan dengan hebatnya. Keadaan seperti
ini nggak boleh gue sia-siain. Tanpa pikir panjang, gue langsung mengganti
gagang kursi tersebut dengan tangan gue. Ah.. hangat sekali. Tapi.. kok tangan
Yuri gede banget? Kek kudanil Afrika.
Gue
madep ke arah tangan gue yang menggantikan gagang kursi tersebut. Dan ternyata,
itu tangan bapak-bapak gendut kumisan yang kebangun gara-gara tangan kami yang
bergenggaman.
Saling tatap pun terjadi.
“Maaf pak.” Kata gue sambil
tetap menatap bapak-bapak itu.
“Iya..” Jawab bapak itu
pelan.
“…..”
“…..”
Mampus.
Untungnya,
sesaat setelah peristiwa salah pegang tersebut, kudanil Afrika itu langsung
melanjutkan hibernasinya. Dengan rasa bersalah, gue langsung diem sepanjang
perjalanan. Suram.
===
“Take position of landing..”
Suara
pilot terdengar lewat speaker yang berada di atas kabin pesawat, yang artinya
memberikan aba-aba bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat. Gue kebangun dan melihat ke arah Yuri yang
masih bergenggaman dengan gagang kursi.
“Mmm.. Yur? Kamu nggak papa
kan?” Tanya gue sok cool. Emang cool sih.. Ya mau gimana lagi.
“Ah? Iya gak papa kok.
Hehe.” Jawabnya pelan.
Mukanya
pucat pasi. Si Yuri ini entah punya trauma atau apa, dia selalu ketakutan saat pesawat
lepas landas, maupun mendarat. Beberapa saat kemudian, pesawat mulai menukik ke
bawah. Yuri pun sentak memejamkan mata untuk kesekian kalinya. Kali ini, gue
gak boleh salah pegang lagi. Gue sudah melihat dengan akurat tangan Yuri yang
berada disebelah kiri gue. Bukan sebelah kanan yang ditempati kudanil Afrika
tadi.
Perlahan dalam diam, gue mulai menggenggam
tangan Yuri.
Dia kaget. Lalu nengok ke
gue.
Saling tatap tak
terhindarkan lagi.
Gue diem.
Yuri juga diem.
Seluruh penumpang diem.
Gue berhasil menciptakan momen ‘saling tatap’ di antara
kami berdua. Ingat, bagi kalian yang menunggu ‘momen’, ketahuilah, momen itu
diciptakan. Bukan ditunggu. Menunggu momen itu hanya untuk wanita. Kalau
lelaki, gak pake ‘mo’, cuma ‘men’.
Garing ya.
Inilah momennya..
Mungkin, ini saat yang
paling tepat. “Yur..” Tatapan gue mengarah ke matanya Yuri.
“Iya
kak?” Mata Yuri membalas tatapan gue.
“Emmm..” Kata gue sambil mendekatkan kepala ke arahnya.
“Emm kenapa sih kak?”
“Emm..
Selama ini kan kita sudah saling kenal.” Genggaman
kami menguat.
“Hmm?” Cuma itu balasannya Yuri.
“Kita
udah saling dekat..” Mengubah rasa
genggaman menjadi pelukan.
“Ya terus?” Ujarnya sambil mengernyitkan kening.
“Enggh..
Kamu.. Kamu mau gak jadi pacar aku?” Bisik gue pelan.
“Apaa?” Yuri pura-pura budek.
“Iya..
Jadi pacar aku..” Bisik gue lagi.
Yuri diem lagi.
Gue
juga diem lagi. Yaiyalah, Yuri aja diem, masa gue gak? Hih.
Yuri
nutup matanya.
Gue
masih menatap Yuri.
Sebentar
kemudian dia membuka kedua matanya. Didekatkan bibirnya ke telingaku. Dalam
diam dia berucap..
“Nggak.”
“Apaa?” Gue ikut pura-pura budek.
“Nggak.”
“Apaa?!” Kali
ini gue budek beneran.
“Enggak kak, enggak mau. Aku gak mau..” Jawabnya tegas.
DHUAAAR!!
Seketika
pesawat yang melandas, terasa hancur berkeping-keping. Gue langsung merampas
semua selang oksigen, menghirupnya secara membabi buta. Setelah itu gue
mengenakan pelampung. Gue buka pintu darurat. Gue kembangkan pelampung di sayap
pesawat. Terus gue terjun deh ke aspal landasan.
Seandainya
ada penerbangan lain. Gue bakal terbang ke skotlandia. Menjalankan Operasi
plastik. Mengganti nama menjadi Jono. Lalu hidup penuh kegalauan disana. Malu
dan menyesal berpadu menjadi satu. Hancur sudah semuanya..
“Ehm..
Maaf ya Yur.” Perlahan gue ngelepasin
tangan Yuri dari genggaman genggaman gue.
Yuri cuma diem. Mukanya seperti tak bersalah. Lalu
melanjutkan ritual-lepas-landas-dan-mendarat-nya; memejam mata. Kata “Nggak” dari Yuri mendarat dengan sempurna
dilandasan terbang hati gue. Habislah sudah.
FYI aja.
Ini pertama kali nya gue nembak cewek secara langsung. Dan.. Iya, iya.. ditolak.
Kampret.
Pesawat
sudah mendarat. Gue turun dari pesawat dengan tunggang-langgang. Ganteng gue
berjatuhan dimana-mana. Desperate sekali..
Sesampainya
dibibir gedung, terlihat Bapaknya Yuri menyambut kedatangan kami. Gue cuma bisa
senyum-pasi, sambil menyapa lelaki yang mengasuh Yuri dari kecil ini. Ekspresi
Yuri yang terakhir kali gue liat sebelum berpisah diujung bandara adalah, tak
ber-ekspresi apa-apa. Abis ini dia pasti jauhin gue, Pasti.
Gue
merasa bersalah.
Kenapa
disaat dia ketakutan, gue malah nembak dia?
Kenapa nggak disaat dia lagi seneng-senengnya?
Kenapa?
Kenapa………
Merasa
bersalah sekali..
Bersalah
kepada keadaan.
Bersalah
kepada diri sendiri.
===
Kejadian
yang mengenaskan tadi, ada baiknya juga. Gue bersyukur, karena status gue sama
Yuri waktu itu masih dalam fase PDKT. Untung nggak dalam fase
pacaran-menjelang-putus. Gue ngelakuin hal aneh dikit aja, pasti marah.
Bayangin cobak gimana kalau cewek marah saat dalam pesawat? Bisa disuruh turun
gue. Bukannya apa, males aja jalan ke depan, jauh-jauh ke tempat pilotnya cuma
untuk minta diturunin. Nggak mungkin juga kan dari belakang gue tepuk pundaknya pilot, terus berbisik pelan, "Depan kiri ya, bang."
Tapi
tetap aja, setelah kejadian waktu itu, gue gak bisa tidur semalaman. Gue
kepikiran tentang apa yang salah dalam penembakan diatas. Apakah terlalu cepat?
Atau keadaan yang kurang tepat? Entahlah. Rasanya seperti, Sudah jatuh,
tertimpa Pretty Asmara. Tewas begitu saja..
Daripada
gue galau gak jelas, tiga hari kemudian gue langsung sms Yuri, dengan penuh
permohonan maaf. Entah maaf gue diterima apa enggak. Gue nunggu lama banget,
kek nunggu kamu putus sama pacar baru kamu. Hih.
Beberapa
lama kemudian, sms gue dibales oleh Yuri. Isinya, permintaan maaf juga darinya.
Ah Yuri..
Sebelum maafmu mengucapkan
maaf kepadaku, maafku sudah lebih dulu memaafkan ‘maaf’-mu..
Hehehe.. (--,)
Dan
belakangan gue tau, ternyata si Yuri juga menyimpan perasaan yang sama seperti
apa yang gue rasain. Cuma dia harus meminta persetujuan orang tua nya dulu
untuk menjalin hubungan. Yah namanya juga masih SMA. Backstreet itu gak baik. Terutama untuk kesehatan kelanjutan
hubungan.
Bentar-bentar,
Backstreet itu nama pemain bola itu
bukan? Itu.. David Backstreet.
Itu
DAVID BECKHAM, JAUH NYET.
“….”
Dan.. Ya, sebagai lelaki gentle, gue langsung meminta ijin kepada kedua orang tua nya. Tanpa
panjang kali lebar kali tinggi, kami berdua direstui. Cieee..
Ternyata,
perjuangan selama ini yang dianggap sia-sia, malah jadi bahagia sepanjang usia.
Well, seandainya aja gue nggak
ngungkapin waktu itu, pasti sampai sekarang gue masih dalam fase PDKT. Iya,
sama cewek lain lah.. Jangan berlama-lama di padi yang tak dapat dituai. Mau
sampai kapan terjebak di fase PDKT terus?
Walaupun
hubungan gue sama Yuri tak berjalan sampai 4 bulan, tapi si Yuri ini adalah
yang paling memberi kesan. Karena cuma Yuri yang gue tembak secara langsung. Iya-iya
yang gue certain di atas tadi. Iya-iya ditolak. PUAS LO PADA?!
Meskipun
di awal jawabannya kurang menyenangkan, setidaknya gue sudah menyatakan.
Mungkin benar, daripada mempertanyakan, cinta yang baik adalah tentang
menyatakan.
Jadi, kapan kamu akan mengungkapkan? |
From @irfannyhanif feat. Don Juan
Wrote by Don Juan