Are We Still Connected?



Namun, pada akhirnya, setelah lama berpisah, kita akan bertemu kembali di suatu kota kecil bernama, ingatan. Sebenarnya, masa lalu tak pernah benar-benar meninggalkan kita. Mereka masih sering datang ke kehidupan di hari ini untuk sedikit menyapa kita. Tidak hanya bertemu di dalam ingatan, mereka juga sampai bertamu di dalam mimpi. Gue bahkan masih ingat dengan jelas beberapa pertemuan dengan mereka – yang pernah mengisi hidup gue di masa lalu – di dalam mimpi. Awalnya gue menganggap itu hanya bunga tidur biasa, sampai pada akhirnya gue sadar bahwa ada pesan yang dibawa oleh mereka..

Firasat.

Are we still connected?




=====



SATU

Dia adalah Andin, perempuan berambut panjang dan berlesung pipi. Di hadapan pipinya yang lesung, di sanalah hidup gue berlangsung. Dia adalah perempuan pertama juga sekaligus kedua. Disebut kedua karena Andin adalah perempuan kedua yang gue sayangi setelah ibu. Disebut pertama karena Andin memang cinta pertama yang gue dapat di usia yang sungguh terlalu belia untuk bisa merasakan jatuh cinta.

Saat itu sudah memasuki tahun 2000 dan sedang pembagian raport kelas empat caturwulan ketiga di sekolah. Gue yang menunggu di depan pintu kelas untuk menunggu dipanggil. Gue menggandeng ibu dan duduk di hadapan Pak Nur, wali gue di kelas. Seperti biasa gue selalu ditegur oleh Pak Nur. Nilai raport gue sangat pas-pasan, meleset sedikit lagi, nilai merah sudah pasti membakar buku raport itu. Dan seperti biasanya pula, ibu gue selalu mengelus kepala gue dan berjanji kepada Pak Nur bahwa gue akan lebih baik di kelas berikutnya.

“Tuh, kamu harus belajar sama Andin, biar ketularan pinternya. Dia ranking satu loh di kelas.” Kata Pak Nur.”

“Andin siapa, Pak?” Tanya gue kembali dengan polos.

“Andin itu dari kelas 4A, dan kalian akan saya tempatkan di kelas 5B. Kamu tidak bisa naik ke kelas 6 dengan nilai yang pas-pasan. Makanya, di kelas 5 ini kamu harus rajin belajar sama Andin.” Jawab Pak Nur kembali.

Pak Nur memang sangat sayang sama gue. Bahkan untuk membuat gue rajin belajar saja beliau sampai menggunakan jasa pihak ketiga – yang akhirnya malah menjadi cinta pertama, di hidup gue.

Sampai lah pada hari pertama gue sekolah di kelas 5. Kelas 5B ini adalah perpaduan dari kelas 4A, 4B, dan 4C. Teman badung gue, Andre, yang sama-sama dengan gue dari kelas 4C, ketemu lagi di kelas 5B. Niatnya, gue duduk lagi berdua sama Andre di bangku paling belakang seperti di kelas 4C. Tidur di kelas, mainan tamagochi, ngomongin isu geo-politik, dan meramal perekonomian Indonesia di tahun 2021. Pokoknya hal-hal nakal pasti gue lakukan bersama Andre. Tapi takdir berkata lain. Jaman gue SD, tempat duduk ditentukan dari siapa yang paling datang pertama. Biasanya, di hari pertama sekolah, anak-anak akan datang sangat pagi hanya untuk menghak-milik meja paling depan.

Andre belum datang bahkan sampai di lima menit sebelum bel masuk jam 07.15 berbunyi. Sebelah kaki gue yang sudah menginjak lantai kelas 5B tiba-tiba berhenti. Gue kaget. Kelas sudah sangat penuh dan meja paling belakang juga paling depan sudah diisi. Hanya tinggal dua meja di tengah. Tinggal kursi untuk empat orang. Gue, Andre, dan dua orang dari kelas lain. Gue putuskan untuk duduk di bangku kedua dari tengah. Berharap teman sebelah gue adalah Andre.

Belum selesai gue berharap agar Andre datang, mata gue sudah terjebak pada perempuan yang datang dari pintu masuk. Rambut panjangnya digerai, kulitnya putih, cantik sekali. Dia melangkah tanpa melihat kanan kirinya. Siapa gerangan dirinya.

Dia duduk di meja sebelah gue, bukan satu meja dengan gue. Ingin sekali gue menyapanya. Tapi sejak kecil gue punya masalah dengan perempuan. Sejak SD, gue sudah punya masalah dengan perempuan yang cantik. Buat gue saat itu, semakin cantik sang perempuan, maka akan semakin sulit untuk mendekatinya, atau bahkan sekadar menyapanya. Kalau jaman itu sudah ada seminar cinta, pasti celengan kodok gue adalah hal yang paling pertama gue cari. Gue bakal keluar duit banyak hanya untuk diajarin cara deketin perempuan. “Siapa namanya? Sheila? Sandra? Clarissa?” Bisik gue dalam hati sambil sedikit mencuri pandangnya.

Gue kira di hidup yang sekali ini akan gue habiskan dengan mengejar perempuan. Meminta belas kasih berupa chat yang dibalas dengan cepat dan panjang. Atau bahkan mengemis agar cinta gue nggak bertepuk sebelah tangan. Ternyata gue salah. Ada kalanya di hidup ini gue yang dikejar, dicintai, dan digilai.

“Eh halo, kamu Downy, ya?” Tanyanya dari seberang. Mungkin inilah yang dinamakan Hello from the other side.

“Anjrit! Dia yang nyapa duluan! Ini pasti adalah buah dari kegantengan! Kegantengan tidak akan berkhianat!” Teriakan gue menggema di penjuru ruangan hati.

“Eh iya, kok kamu tau? Nama kamu siapa?” Tanya gue kembali.

“Andin.” Dia menyodorkan tangan untuk berkenalan.

“Andin? Jadi inikah perempuan yang dijanjikan Pak Nur?” Gue berbisik pelan dalam hati.

“Wah, dia ngajak kenalan duluan!” Teriak gue lagi dalam hati. “Wah, gue harus sok cool nih, harus bagaimana ya gue di depannya?”

“Downy.” Gue menjabat tangannya sambil menaikkan kerah seragam. Cuma itu yang ada di pikiran gue. Di pikiran gue, Eric Cantona naikin kerah aja bisa jadi legenda, masa gue nggak bisa.

“Kamu ngapain naikin kerah? Kamu kayak om-om salah gaul, ih.” Jawab Andin sambil menjabat tangan gue.

Begini amat hidup, ya Allah..

“Oh, jadi benar kamu Downy ya? Aku udah dikasih tau Pak Nur supaya kamu belajar sama aku. Katanya kamu yang hampir nggak naik kelas dari kelas 4C itu kan ya?” Tanya Andin.

“Andin, tung..”

“Wah, kamu harus sering belajar loh, masa nilai matematika di raport dapat 60. Itu gawat loh..” Andin memotong lagi.

“Andin..”

“Terus kata Pak Nur, nilai bahasa Indonesia kamu merah, ya? Kok bisa sih Downy?”

Cobaan apa lagi ini..

Hancur sudah reputasi gue yang tidak seberapa ini. Ternyata gue nggak dikejar-kejar amat. Nggak digila-gilai amat. Sedih..

Pak Nur jahat banget cobak! Hih.

Akhirnya tiga caturwulan gue jalani bersama Andin. Selama setahun itu juga Andin duduk tepat di sebelah gue. Dia benar-benar melakukan apa yang harusnya dilakukan Pak Nur di kelas yang baru ini, di kelas 5B. Pak Nur sudah bukan wali kelas gue lagi, dia meminta Andin untuk melanjutkan tugasnya. Andin bahkan mengoreksi PR matematika gue sebelum dikumpul. Andin bahkan mengoreksi tulisan di tugas mengarang bahasa Indonesia. Selama setahun itu gue nggak hanya berbagi meja dengannya, setengah dari hati ini juga nggak sengaja gue bagi dengannya.

Setiap PR matematika yang dapat nilai 80, ada bonus senyuman darinya. Semenjak bersamanya, gue jadi punya motivasi untuk terus mendapat nilai bagus. Nilai ulangan gue terus membaik karenanya. Lesung pipi yang menghiasi senyumnya membuat gue punya alasan untuki rajin belajar. Mungkin begitulah cara kerja cinta, ia membangunkan raksasa yang tidur dalam diri kita, menyadarkan bahwa kita lebih dari yang kita bayangkan sebelumnya.
 
Gue dengan Andin mungkin saat itu bisa dibilang pacaran. Andin pernah bilang bahwa dia sayang sama gue. Dia bahkan pernah menangis agar gue nggak pindah ke SMP lain saat kami berpisah di acara perpisahan kelas 6. Dia ingin agar kita tetap bersekolah di tempat yang sama. Di Jakarta selatan. Ketidakmampuan gue untuk bangun pagi membuat gue lebih memilih SMP yang lebih dekat dengan rumah. 

Andin 0 – 1 Susah Bangun Pagi.

------
------

Itulah yang gue mimpikan pagi itu. Setiap senyumannya diputar ulang dengan sangat jelas lewat mimpi yang sangat panjang. Adegan pertemuan gue dengan Andin pun kembali terulang. Gue bahkan masih ingat kondisi ruangan kelas, dan sepatu yang dikenakan Andin di kelas. Gue juga masih ingat ransel berwarna merah yang dibawa Andin. Gue lihat jam di HP, menunjukkan pukul setengah enam. Gue terbangun dalam kondisi kangen sekaligus kehilangan, yang dengan teramat sangat. Sesampainya di kantor, bahkan sampai siang pun gue masih kepikiran Andin. Apa kabar dia sekarang..
 
Waktu berjalan dengan sangat tergesa hingga delapan tahun setelah acara perpisahan kelas 6. Gue menghabisi delapan tahun kemudian tanpa ada kontak dengan Andin. Sampai pada akhirnya tepat bulan September tahun 2010, kami bertemu di Cinere Mall yang sama-sama sedang mengantre di restoran cepat saji. Mata kami kembali bertemu, seperti ada jutaan rindu yang sulit untuk dijelaskan. 

Andin sudah berubah menjadi perempuan yang sempurna – walau gue tau dia sudah sempurna by default. Andin juga terpana melihat gue. Mungkin baginya, gue sudah berubah dari lelaki yang awalnya mirip tukang duku, menjadi lelaki yang mirip tukang duku tapi agak gantengan. Kami bersenda gurau layaknya kali pertama bertemu di kelas 5 SD. Senyum Andin masih sama, masih dengan senyum yang pernah mengubah hidup gue. Sepulangnya dari pertemuan itu, tepat di depan pintu rumahnya, gue mengajak Andin untuk kembali seperti dulu, mengulang semuanya dari awal.

Andin menolak.

Ahaha, bangke.

Itulah mimpi tentang Andin di keesokan harinya. Gue masih dengan kondisi yang sama, terbangun di pagi hari dan menyisakan Andin di mimpi semalam. Tanpa pikir panjang lagi gue pinjam Facebook teman untuk mencari tahu tentang Andin. Tidak satupun Andin gue temui di sana. Nampaknya dia sudah tidak main Facebook. Gue cek di twitter, ada akun dengan foto Andin yang sangat cantik. Rambutnya masih panjang. Tapi akunnya digembok. Gue nggak bisa tau kabar tentang Andin di semua sosmed. Bikin Path pun, kalau nggak di-accept, gue tetep nggak bisa kepoin lebih dalam.

Tiga hari berikutnya, gue tetap bermimpi Andin. Momen-momen di SD kembali diulang di mimpi itu. Dan gue sudah mulai terbiasa dengan mimpi itu. Toh, gue juga nggak tau kabar Andin. Gue sudah masa bodoh. Mungkin memang hanya bunga tidur biasa.

Sampai akhirnya gue iseng scroll-scroll TL Line dan salah satu teman SD gue, Alan – yang ternyata gue lupa kalau ada kontaknya di Line, memosting suatu foto di TL Line-nya.

Dan gue zoom foto itu lebih dekat, ada Andin di sana.

Foto yang diposting Alan menghasilkan banyak komen. Semua komennya sama. Gue juga lihat ada beberapa akun Line teman SD gue di sana. Komennya nyaris sama,

“Selamat menempuh hidup baru, Andin..” Komen Alan di Line yang nampaknya dia datang ke acara pernikahan Andin.

Andin sudah menikah.

Dan tanggal posting foto Alan adalah tepat di mana gue bermimpi tentang Andin untuk pertama kalinya.

Mungkin Andin ingin mengundang gue ke acara pernikahannya, namun mungkin Andin juga nggak tahu bagaimana menghubungi gue. Maka, singgahlah ia di kepala gue saat gue terlelap, memutar semua kenangan yang pernah terjadi di antara kami untuk yang kedua kali sekaligus yang untuk terakhir kalinya.


Foto itu membuat gue bahagia dan kehilangan di sekali kesempatan.

Apakah ini firasat, atau are we still connected?





======

DUA

Konon ada suatu istilah B3 – behelan, belah tengah, blek mentol, yang di mana merupakan sebuah starter pack untuk menjadi cewek gaul di belantika pergaulan ibukota. Pun sama halnya dengan cewek yang punya panggilan sayang dari gue, Shendy. Seorang cewek cantik dengan rambut belah tengah, behelan, dan bimbel.

Lah kok bimbel?

Ya, agak meleset dari citra gaul anak muda ibukota memang. Gue nabrak Shendy di tangga tempat bimbel di bilangan Fatmawati. Gue yang mulai beranjak dewasa, tepatnya kelas 12 SMA, datang telat dan bergegas masuk kelas bimbel untuk pelajaran fisika. Gue yang punya kecepatan lari tidak seberapa itu dengan sukses menabrak Shendy, yang juga kebetulan hendak turun dari lantai dua. Kalau di FTV, biasanya adegan tabrakan di tangga akan dilanjutkan ke adegan buku yang jatuh, dan diakhiri adegan ngambil buku secara gotong-royong.

Namun, Tuhan punya cerita lain.

Tabrakan gue nggak cukup keras sih, buku yang dipegang Shendy pun masih dia pegang. Harusnya dari depan gue nggak menyebut ini sebagai tabrakan, harusnya gue sebut ini sebagai, kesenggol dikit. Gue yang fasih dengan cerita FTV, langsung bergegas melihat ke bawah untuk mencari buku Shendy yang jatuh. Namun tidak ada apa-apa. Gue pun palingkan mata gue ke arah wajah Shendy. Dia menutupi mulut dengan tangannya.

Behelnya kayaknya jatuh.

Lah, kok begini amat..

“Waduw maap mbak, kamu nggak apa-apa kan?” Tanya gue sambil bingung nahan ketawa atau tetap memasang wajah berempati.

Shendy hanya menggeleng dan menaik-naikkan alisnya sambil tetap menutup mulut dengan tangannya. Kemudian ia berlalu. Tubuh kami berjalan ke arah yang berbeda, namun mata kami searah. Kami bertatapan. Yang gue ingat darinya adalah rambut hitam mengkilat tergerai yang terbelah dengan sangat presisi. Mungkin di rumah dia sisiran pakai tongkat nabi Musa.

Dua hari berikutnya, kami bertemu kembali di tempat bimbel. Kali ini gue melihat utuh semua wajahnya tanpa ada tangan yang menutupi mulutnya. Pipinya agak embem, sangat cantik ditambah sore itu dia mengenakan bando berwarna biru. Dari seragam sekolah yang dikenakan, dia berasal dari SMA lain. Seragam SMA yang malakin gue di metromini. Namun gue beruntung, saat itu yang gue punya hanya hati seputih anak yatim. Alih-alih mau minta duit ke gue, mereka justru iba. Ongkos metromini gue malah dibayarin sama mereka. Untung SPP sekolah gue nggak ikut dibayarin. Kan tengsin..

Tanpa basa-basi, gue menghampirinya yang sedang duduk di dekat meja resepsionis.

“Eh halo, kamu yang kemarin kan, maap ya aku nggak sengaja.” Tanya gue sopan.

“Eh iya gapapa kok.” Jawabnya ramah.

“Eh, kalau boleh tau nih, kamu kemarin kenapa? Bibir kamu kenapa? Kok ditutupin?”
 
“Ahaha, kok nanyanya gitu sii, malu tauu.” Jawabnya sambil tersipu-sipu.

Gue cuma bisa diam terpana melihatnya tersenyum dengan wajah yang memerah.

“Haha ini lohh..” Dia memamerkan gigi putih yang berbaris rapi lengkap dengan behelnya. “Behelku emang bisa lepas-pasang, terus kamu tabrak ya copot deh. Hehe.” Jawabnya lagi sambil makin memerahkan pipinya.

Gue langsung berfantasi yang tidak-tidak. Adegan tabrakan di tangga dua hari yang lalu terekam ulang di kepala. Gue menabrak Shendy, lalu behel Shendy jatuh. Alhasil gue membantu Shendy memungut behelnya yang jatuh ke lantai. Terus gue bilang, “Ini behelmu jatuh..” sambil membantu memasangkan behel ke giginya. “Uhh, kamu romantis banget..” Jawabnya merintih sambil menahan degup jantungnya yang berdebar kencang ketika gue hanya berjarak beberapa nafas dari bibirnya.

Benar-benar fifty shades of downy..

Keberuntungan gue bukan cuma sampai di situ, ternyata gue dengan Shendy satu kelas di tempat bimbel. Kemarin dia baru mendaftar ke paket bimbel yang ternyata juga gue ikuti dua hari sebelumnya. Enam bulan hingga hari terakhir menuju SNMPTN, gue akan seminggu tiga kali bertemu dengannya di ruangan bimbel.

Shendy adalah cewek yang sangat pintar. Saking pinternya, gue sempet mengira kalau dia adalah guru bimbel yang menyamar jadi siswi yang embem dan menggemaskan. Shendy sangat berhasrat untuk lolos ke fakultas kedokteran di universitas terbaik se-depok. Sedangkan satu-satunya hasrat yang gue punya cuma tiduran di pipi Shendy. Halah.

Enam bulan bukan menjadi waktu yang lama untuk seorang yang sedang dimabuk cinta. Selain dimabuk cinta, gue juga mabuk sama soal-soal SNMPTN. Pilihan pertama gue juga sama seperti Shendy. Namun dari nilai-nilai try out yang gue lalui, tidak sedikitpun yang mencapai passing grade di fakultas kedokteran.

“Kamu pasti bisa, downy sayang.. Jangan menyerah, pasti kita satu kampus di fakultas kedokteran terbaik se-depok.” Ujarnya sambil melihat nilai try out yang baru dipasang di dinding kelas.
 
Tiga bulan sudah cukup membuat Shendy memanggil gue dengan sayang. Setiap kata sayang yang dia ucap, makin membuat gue bersedih. Makin membuat gue minder. Pasti gue nggak akan diterima di kedokteran dengan nilai seperti ini. Sampai di hari pertama SNMPTN, pilihan kedua gue jatuhkan ke universitas yang kata orang-orang terbaik se-jogja. Shendy nggak tau kalau gue memilih pilihan kedua yang berseberangan dengan pilihan Shendy. Kita akan berbeda kota.

Benar dugaan gue. Shendy lolos ke universitas terbaik se-depok dan gue lolos di universitas terbaik se-jogja. Shendy marah karena gue nggak menjatuhkan pilihan kedua di Jakarta.

“Aku nggak mau LDR. Kata orang, Jogja itu pergaulannya bebas. Kamu pasti jahat kalau udah sampe di sana.” Suara Shendy dari kening gagang telepon.

“Ya nggak lah, aku kan nggak ganteng, kalau nggak sama kamu pasti aku bakal jomlo sampai akhir zaman.” Jawab gue dari seberang.”

“Kamu jahat!”

“Tapi, Shen..”

Nut nut nut nut..

-----
-----

Gue kembali terbangun. Kali itu jam lima pagi. Gue mendahului alarm berbunyi. Semua tentang Shendy terputar ulang di mimpi. Di mimpi itu teringat sangat jelas ketika Shendy mutusin hubungan kami di telepon. Juga tentang kenangan manis di ruangan bimbel. Shendy ngajarin gue teknik-teknik cepat dalam mengerjakan ujian matematika dasar. Namun yang gue lihat hanyalah wajahnya. Juga warung somay di depan tempat bimbel yang selalu kami datangi setelah pulang bimbel. Dan juga ketika Shendy menangis karena gue lebih milih Jogja ketimbang dia di Jakarta. Dan juga butuh dua semester di Jogja sampai gue bisa benar-benar mengikhlaskan Shendy. Semuanya kembali terekam.

Untuk ke sekian kalinya gue bangun dalam kondisi kangen dan kehilangan.

Tahun 2009 adalah tahun terakhir gue bertemu dan berbicara dengan Shendy. Itu pun di online chat saat gue masih bermain Facebook. Chat-nya sudah dingin tak sehangat senyumannya dulu. Sampai hari ini, berarti sudah enam tahun tanpa ada kontak dengan Shendy.

Tidak butuh lama untuk bertemu kembali dengan Shendy di tahun 2015. Shendy aktif di twitter walau nggak seaktif gue. Twitnya pun seperti anak muda pada umumnya – akun Path terintegrasi ke akun twitternya. Dengan kata lain, seluruh twitnya adalah postingan dari akun Path-nya.

But, shit happened again.

Hari itu hari Minggu jam lima pagi, gue terbangun dan melihat postingan foto-foto wedding-nya live dari akun twitternya.
 
Shendy sudah menikah di hari Sabtu.

Oh, mungkin seperti itulah cara kerja masa lalu. Kita tak pernah benar-benar lost contact, gue tetap akan diundang ke pernikahannya dengan cara yang berbeda.

Selamat berbahagia, Shendy. Semoga langgeng selalu..

Are we still connected?



========

Sampai penghujung tahun 2015 ini, gue terkadang masih kepikiran dengan mantan gue yang akhirnya memilih jalan masing-masing di pertengahan 2015. Kami sudah tidak bersama sebelum layak disebut masing-masing. Untungnya, belum sampai datang di mimpi.

Jika suatu hari nanti dia datang ke dalam mimpi gue, mungkin di saat itulah dia sudah menemukan pendamping hidup yang paling tepat untuknya.

We are still connected..

Share:

4 Komentar

  1. Wahahahaha Andin dan Shendy. Dua cewek yang singgah di mimpi. Tapi begitu amat ya kisahnya? etapi iya sih gue juga pernah bang mimpiin mantan. Tau-tau ketemu di rumah sakit. Sial banget ahahahhaa. Tapi dia ga makin ganteng bang jadi gue biasa aja. Cuma gemeter pengin pipis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kenapa mimpinya nggak jorok ya? Apakah karena aku ini cowok baik-baik? #okesorry

      Hapus
  2. waah gw baru mampir lagi nih di blog lu,, kisah hidup lu lucu-lucu bang hahaa
    waktu gabut gw jadi lebih produktif :>)

    BalasHapus