“Don,
lu ada temen cowok nggak, yang agamanya A, yang single, kenal-kenalin lah ke
gue.” “Don, masa nggak ada temen cowok lu yang jomlo, yang bener, yang nggak
bajingan, kenalin dong ke gue.” “Don, temen lu yang kemarin jalan sama lu udah
punya cewek belum sih, kenalin bisa kali ke gue.” “Don, masa dari segitu banyak
temen cowok lu udah pada nikah semua, pasti ada dong yang belom nikah, bisa
kali gue dikadalin dikenalin..”
Kira-kira
kurang lebih begitu. Dari tiga bulan ke belakang sampai dengan hari ini, kalimat-kalimat
pertanyaan di atas akrab banget di telinga gue. Pertanyaan-pertanyaan ini
berasal dari senior-senior gue di kantor, senior gue waktu kuliah dulu, dan
temen-temen lama gue yang baru ketemu lagi pas bulan ramadhan tahun ini.
Pertanyaan
yang muncul di kepala gue sangatlah sederhana, “What’s wrong with these embem girls?”
“Don,
kamu ada temen cowok nggak, yang agamanya A, yang single, kenal-kenalin lah ke
aku.” Tanya Sally yang nggak sengaja papasan sama gue di lift sepulang kantor.
Mendengarnya bertanya begitu, gue langsung ngeliat Sally dari ujung sepatu
haknya, kaki putihnya, rok span merekeceut-nya,
semampai tubuhnya, dan kilat hitam rambutnya. Dan gue cuma mengernyitkan dahi
dan ngebatin, “Wah, abis kejedak di mana
lu?”
“Loh,
aku kira mbak Sally punya pacar, apa yang sekarang masih kurang, mbak? Hehe.”
“Ah
nggak ada kok, aku udah lama sendiri, yang kemarin itu cuma temen aja.”
Jawabnya pelan.
“Loh
emang kenapa mbak, kan nggak harus punya pacar kan, kebahagiaan yang hakiki kan
berasal dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Pada dasarnya mencari
pasangan hidup kan bukan untuk mencari kebahagiaan, melainkan berbagi
kebahagiaan. Dengan atau tanpa orang lain, kita sudah seharusnya berbahagia.
Bahagia by default. Bahagia sejak dalam pikiran.” Jawab gue yang sayangnya
sepersekian detik ketika kalimat itu hendak keluar, mulut gue memilih untuk
mengunci rapat-rapat kalimat tersebut.
“Ah,
aku kira kalau dibuat statistik, dari lima cowok, akan ada empat yang hilang
kendali dan akan mengatakan rasa cintanya rasa ke mbak Sally. Hehe.” Jawab
mulut gue yang lebih memilih untuk mengeluarkan kalimat aneh tersebut.
“Ah
masa sih buktinya aku masih sendiri aja kok. Hehe. Umur aku udah 29, harus udah
punya pacar dan menikah, kalau umur segini masih sendiri, bisa makin mundur
nanti nikahnya.”
Gue
cuma bisa diam dan mendengarnya. Kalau gue bilang bahwa jangan mau dikejar
pernikahan karena usia, jangan mau ditekan dengan penilaian orang lain, dan
kalau gue bilang bahwa pernikahan bukan satu-satunya jalan menuju hidup bahagia,
pasti cuma berakhir jadi pepesan kosong. Dan kalau gue bilang kenapa cewek
secantik dan se-embem mbak Sally bisa-bisanya masih sendiri di usianya yang
nyaris kepala tiga, pasti cuma akan menambah kegalauannya.
Di
sini, di negara dengan kebudayaan seperti ini, usia perempuan menentukan kapan
dia harus nikah dan semakin tua usia seorang perempuan saat belum menikah, masyarakat
bisa memandang rendah harga dari perempuan ini. So sad.
Bahkan
dosen pembimbing gue saat kuliah pernah berkelakar, “Kamu kalau nggak bisa
dapet perempuan cantik saat di usia muda, jangan khawatir, carilah yang usia 28
ke atas, mereka bakal ngediskon banyak hal, istilahnya garage sale lah. Standar-standar tinggi mereka dalam mencari
pasangan hidup akan hilang satu per satu seiring usianya bertambah.” Tutupnya
sambil tertawa keras. Gue cuma bisa diam dan berpikir how sad is this.
“Oh satu lagi, semahal
dan setinggi-tingginya perempuan mematok standar, usianya sendiri yang akan
membeli harga itu dengan murah. Kalau diibaratkan barang, perempuan adalah susu
kemasan, harus cepat laku, dan kalau sudah diminum, harus segera dihabiskan
agar tidak basi.” Tambahnya kembali.
Setelah
selesai bimbingan skripsi dan keluar dari ruangnnya, gue cuma bisa ngebatin,
“Cewek mana sih yang nolak-nolakin dosen gue sampe jadi kayak gitu?”
“Teman-teman sepantaranku semuanya udah jadi
ibu, udah gendong anak.” Mbak Sally kembali dengan kalimatnya sebelum gue
sempat untuk memilah-milah kalimat mana yang harus gue pilih, atau mungkin cuma
perlu gue jawab dengan cengengesan.
“Lho,
kalau mau gendong anak ya bikin aja dulu mbak, legalitas buat gendong anaknya
yang mahal. Buat gendong anak secara legal, itu bisa menghabiskan ratusan juta
rupiah lho. Tapi kalau bikinnya kan, ndak.
Hehe.” Namun kalimat ini kembali gue urungkan.
“Hmm,
yha. Apakah menjadi Ibu adalah tujuan akhir dari seorang perempuan?” Balik gue
yang bertanya.
“Kalau
menurut aku sih, iya. Dan bahkan nggak sedikit perempuan yang tujuan utama dan
impiannya adalah menikah.”
What? Tujuan utama? Impian?
========
Telpon
gue nggak diangkat-angkat dan ini kali yang kedelapan percobaan gue untuk
menelponnya kembali gagal. Gue masih di kantin kampus setelah selesai kuliah
pagi dan ada jeda dua jam sebelum sesi kuliah kedua di jam dua belas. “Yoshi ke
mana, Don?” Tanya Abdi sambil nyomot kerupuk di piring ketoprak gue.
“Udah
tiga hari ini gue kayak lost contact gitu, Di. Gue baru mau nanya temen-temen
lain yang sekelas di mata kuliahnya. Lu ada matkul yang sekelas sama dia?”
“Ada
sih dua matkul, makanya gue nanya ke lo, biasanya kan masuk terus dia.
Gara-gara dia nggak masuk, gue jadi kudu masuk kan, nggak ada yang absenin gue
lagi.” Abdi nyomot tahu di piring ketoprak gue.”
“Eh
coba lu tanyain ke Rina, Di. Dia kan sekelompok matkul kalkulus sama Yoshi,
jadi siapa… lah anjir itu tahu cuma sebiji lu comot semua, lah kopi gue jangan
lu abisin juga. Gue meleng bentar udah ilang aja ni kopi.”
“Tengkiu,
Don, tanggal tua nih, udah ye gue cabut dulu, udah masuk kuliah ni.”
Dengan
perasaan galau karena kopi gue diabisin Abdi dan nggak ada kabar dari Yoshi,
hari itu hari yang pening banget. Gue udah coba telfon Rina, dan nggak
diangkat. Akhirnya gue cuma rokok-rokoan di kantin, ngeliatin anak lain
hilir-mudik, ngerjain tugas, dan nunggu sampe jam dua belas tiba.
Tiga
puluh menit dari jam dua belas, ada BBM masuk, dan itu dari Rina. “Sorry ya
Don, gue cuma nggak enak sama lo.”
Gue
mengeryitkan dahi. “Ah gapapa Rin, kalau cuma goceng aja mah selow Rin, anggep
aja gorengan yang gue beliin ke lo kemarin itung-itung menyantuni anak yatim.”
Jawab gue di BBM.
“Yee
suwe amat, bukan itu, lu galau soal Yoshi kan?” Balesnya lagi.
“Lah?
Yoshi kenapa? Gue dari beberapa hari ini nggak bisa hubungin. Dia kenapa??
Sakit?! Dirawat di mana?!! Atau kecelakaan?!!” Gue bertubi-tubi mencecar Rina
di chat BBM.
“Sorry
kalau gue baru ngabarin sekarang, gue nggak tega ngasitau ke lo Don.”
What the hell is this, what kind of
prank is this. Gue langsung ngecek kalender di hape,
berusaha mencari-cari siapa yang ulang tahun hari ini. Gue pun bergegas membuka
fesbuk dari hape dan memantau siapa yang ulang tahun hari ini. Gue mencari
dengan deras, jempol ini pun menyapu trackpad
BB Gemini ke atas dan ke bawah. Dan tak berapa lama gue temukan bahwa Pak
Riyadi ulang tahun kemarin, dosen Biometrika yang doyan ngasih nilah E ke
mahasiswa. Namun gue langsung tersadar, “Lah, orang lain yang ultah kenapa gue
yang dikerjain?!! Ulang taunnya juga kemaren!!”
“Rin,
jangan becanda, gue lagi nggak ulang tahun hari ini, dan ini bukan watu yang tepat
buat ngerjain gue, Rin. Cepet kasihtau gue, Yoshi sakit apa??? Dirawat di
mana???” Suara kletak-kletek keypad
BB Gemini gue berlomba dengan degup jantung gue, menandakan betapa
menggebu-gebunya gue mencecar Rina.
“Nggak
Don, Yoshi nggak dirawat atau kecelakaan. Tapi nampaknya lo yang butuh
perawatan kalau gue ceritain semuanya ke lo. Gue nggak pengin mencelakai lo.”
Saat
itu juga, gue menitipkan tas gue ke temen bangku sebelah, izin ke toilet, dan
segera berlari ke parkiran. Gue gelap mata. Gue menaiki motor, memasukkan
kunci, memutarnya, dan langsung menyalakan mesin. Gue menarik tuas gas dengan
cepat, bergegas melesat ke rumah Yoshi.
Terlihat
beberapa mobil parkir tepat di rumah Yoshi. Gue parkir agak jauh karena mobil-mobil
itu menutupi pagar rumahnya. Belum sempat gue berusaha membuka pintu pagar
rumahnya, langkah gue terhenti. “Gue udah duga lo bakal ke sini, dan gue rasa
ini bukan waktu yang tepat, Don.” Gue melihat tangan itu. Dan itu tangan Abdi. “Lah,
Di, lo bukannya ada kuliah dari jam 10 sampe jam dua? Kok lo di sini? Rin, kok lo juga ada di sini? Sebenernya ini
ada apa sih? Gue mau masuk.” Gue menghela tangan Abdi dan berusaha
meraba-meraba tempat bel yang gue biasa pencet untuk manggil Yoshi keluar.
“Ntar
dulu, gue bisa jelasin.” Abdi memegang bahu gue.
“Yoshiiiiii..”
Gue berusaha memanggil Yoshi keluar. Namun tampaknya nggak ada respon, gue tau
ada banyak orang di dalam tapi nyatanya rumahnya sangat sepi.
“Lo
ngga bisa ganggu acaranya, Don. Nggak enak diliat tetangga kan.” Rina narik
tangan gue dan membuat gue menjauh dari pagar rumah Yoshi. “Tunggu, ini acara
apa sih? Kok lo berdua nyembunyiin sesuatu ke gue? Lo berdua tau apa yang terjadi
di dalem dan nggak ngasih tau gue dari kemarin-kemarin?”
“Pokoknya
gue mau masuk…” Gue langsung bergegas kembali menuju pagar rumah Yoshi.
“Don,
tunggu, lo nggak bisa ganggu acara lamaran orang dan bikin onar di sana.”
Teriak Rina.
Langkah
gue terhenti.
“Rin.”
Gue menoleh ke belakang. “Yoshi itu pacar gue..” Gue menatap mereka dengan dahi
berkerut dan berdenyut-denyut, gagal paham apa yang tengah terjadi saat ini.
Abdi
dan Rina cuma bisa diam. “She is not
belongs to you anymore, Don.” Jawab Rina pelan. “Hidup memang perjalanan
dari kehilangan satu ke kehilangan lainnya, dan terkadang hari itu tiba ketika
kita baru saja memilikinya and poof… it’s gone.” Ardi menjawab sambil
berusaha merangkul pundak gue dan mengajak gue menjauh dari pagar rumah Yoshi.
“NGGAK
MUNGKIN!! KAMERA MANA KAMERA????!! INI SEMUA SETTINGAN KAN?!! KAMERAMEN-NYA LO
SURUH KELUAR!! NGGAK LUCU!!! GUE NGGAK MAU MASUK TIVI KALO SKENARIONYA KAYAK
GINI!!!! GANTI SUTRADARANYA!!! GANTIIIIII!!!!! Gue teriak-teriak dan menghela
tangan Abdi dari pundak gue.
“CUT!! CUUUUUUTTTT!!!!”
Teriak gue lagi.
“ABDI,
INI ACARA APAAN??!! TERMEHEK-MEHEK?? PLAYBOY KABEL???! APA KATAKAN CINTA????!!
LO NGAKU AJA!!! RINA, ACARA APAAN INI??? HAH ACARA APAAN???! BEDAH RUMAHH??”
APA UANG KAGET????” JAWAB GUA!!!! Suara gue udah mulai parau, bukti kesedihan mendalam
yang tercekat di sela-sela tenggorokan.
Mereka
cuma bisa diam dan memandangi gue dengan tatapan yah-gua-bilang-juga-apa-dia-jadi-gila-kan.
Dengkul
gue udah lemes bener kayak bihun kondangan. Gue jongkok di depan rumah
tetangganya Yoshi, megangin muka dengan tatapan berkaca-kaca. “KENAPA LO NGGA
BILANG KE GUE DARI KEMAREN-KEMAREN????!” Gue masih terus menyangkal.
“Don,
ayo balik aja dulu ke kampus, jangan di sini, ngga enak teriak-teriak diliatin
tukang toge goreng..” Bisik Rina di samping gue.
“BODO
AMAT!”
Dan
benar adanya, hari ini hari rabu dan sabtunya Yoshi menggelar acara pernikahan.
Semua teman satu kampus diundang dan cuma gue yang nggak datang. Hari itu
adalah hari pertama dalam hidup gue di mana patah hati membuat nafas gue
tersengal-sengal. Gue sempat merasa kalau ini adalah gejala stroke ringan. Setiap
gue kepikiran Yoshi, ulu hati gue terasa sakit. Dan sakit itu berlangsung
seharian dan selama satu minggu. Bukti bahwa gue mencintai Yoshi sejak dalam
pikiran.
Tiga
hari selama gue hilang kontak dengannya waktu itu, ia sedang menggelar prosesi
lamaran. Abdi dan Rina menceritakan semua yang mereka tahu setibanya gue di kantin
kampus keesokan harinya. Mereka telah mengetahui ini satu minggu sebelum
akhirnya gue hilang kontak dengan Yoshi. “Ini udah gila dan weird abis, Don. Gue bahkan nggak tega ngomongnya
ke lo.” Kata Abdi sambil mengembus asap rokoknya. “Tapi waktu Yoshi ngasitau
berita ini ke kita, dia cerita sambil nangis. Dia tau kalau ini bakal nyakitin
lo, dan dia juga tau kalo lo bukan tipikal yang diem aja pas denger cerita itu.
Dia takut kalau lo dateng ke rumahnya bikin onar dan ngebubarin acara siang
itu.” Rina kembali menambahkan.
“Lah
iya, gue mau lakuin itu!” Teriak gue. “Lo berdua kenapa juga ada di situ. Heran
gue.” “Ya itu permintaan terakhir dari Yoshi, dia minta kita buat jagain lo.”
Abdi memotong.
Gue
baru ketemu Yoshi lagi di semester berikutnya, semester empat. Pagi buta gue udah
di kampus, rencananya gue mau tidur di sekre aja hari ini. Rasanya males banget
ngisi jadwal kuliah dengan hati yang rasa-rasanya telah patah untuk waktu yang
abadi. Yoshi tepat di depan mata gue sesaat gue meletakkan helm di jok motor.
“Tanpa
alasan yang jelas. Lari dari masalah. Tanpa sepatah kata. Saya pikir anda
adalah cinta pertama saya, namun nampaknya saya salah. Anda adalah patah hati
terburuk saya di kota ini.” Gue mengucap
sambil menahan nafas yang tersengal. Rasa sakit itu datang kembali.
Yoshi
memeluk gue dan menangis di sana. Kali pertama dalam hidup gue melihat
perempuan menangis di dalam pelukan. Sampai hari ini ketika cerita ini gue
tulis ulang, gue hampir nggak bisa mengingat apa yang dia katakana di sela-sela
isakan tangisnya. Gue hanya mendengar kalimat maaf, maaf, dan maaf.
Oh
iya, satu lagi, dia menyebut pernikahan. Satu-satunya yang gue ingat, dia
berkata bahwa impiannya adalah menikah. Mantannya
waktu SMA datang padanya dan melamarnya di depan kedua orangtuanya. Gue masih
nggak habis pikir ia bisa menerima lamaran itu ketika masih dalam status pacar
gue. Atau yang paling mengherankannya, dia menerima lamaran lelaki lain dalam
kondisi mencintai gue. Dan yang lebih mengherankannya, dia menikah ketika masih
berstatus mahasiswi dan akhirnya meninggalkan bangku kuliah karena ikut
suaminya. Patah hati pertama sekaligus terparah gue dalam hidup. Rasa sakitnya itu kayak saban
hari ngejar surga, eh endingnya cuma jadi bidadari pemuas mujahid. Apes bener.
Monyet! |
“Kita
beda agama, akan sulit untuk kita dapat bersatu dalam pernikahan.”
“Downy,
kamu ndak perlu menjadi ganteng, ndak perlu menjadi hebat, atau apapun,
kamu cukup menjadi lelaki yang berani berkomitmen. Perempuan pada akhirnya akan
memilih itu. Jadilah impian bagi perempuan. Jadilah lelaki yang menikahi
perempuannya..”
“Maafkan
aku.”
Itu
kalimat terakhir darinya dan kalimat yang cuma gue terima tanpa bisa membalas
dengan sepatah kata pun. Apalagi ketika melihat foto nikahnya, gue makin nggak
bisa ngomong. Speechless. Bagaimana
mungkin Yoshi bisa menikahi dakinya sendiri. Kadang gue suka suudzon, cewek tu
sama cowok ganteng cuma bisa di fase pacaran aja, kalau udah di fase menikah ya sama yang jelek. Astagfirullah.
Yang
ganteng, yang lucu, yang anter-jemput, yang bayarin ini-itu, yang nemenin
wisuda, akan kalah sama yang berani nikahin.
Monyet.
========
“Don? Kamu kenapa, Don? Haloooo..?” Mbak Sally
menepuk-nepuk bahu gue, menyelamatkan gue dari kesedihan yang datang tanpa izin
dan memukuli begitu saja tanpa ampun.
“Oh
nggak apa-apa, Mbak? Gara-gara tadi Mbak ngomongin nikah, saya jadi keinget
kerjaan. Haha.”
“Ohhh,
aku kira kamu keinget mantan hehehe.”
Monyet.
“Oh iya, Downy,
tadi kamu bilang katanya dari lima cowok akan ada empat yang berani
menyatakannya perasaannya ke aku? Terus yang satu lagi gimana?” Mbak Sally
balik bertanya.
“Ngggggg,
ummmm, euuuum, yang satu lagi cuma bisa memendam perasaannya ke Mbak Sally, dan
dia sebenarnya yang paling cinta ke Mbak Sally, namun dia tahu kalau ada
hal-hal yang tidak bisa bersatu begitu saja, ada jarak yang tak kasat mata
membentang di antara mereka dan membuat mereka tak bisa menyatu seberapa pun
kerasnya usaha mereka.”
“Hmmmm,
ohh gituu, yayaya.”
Akhirnya
kami sampai di lantai satu, pintu lift terbuka dan kami berjalan keluar kantor.
Teksi online Mbak Sally sudah menunggu persis di depan lobby kantor.
“Eh
Don, kayaknya aku tahu deh siapa laki-laki yang terakhir itu dan memendam cukup
lama.” Mbak Sally kembali menoleh ke arah gue sambil membuka pintu teksi.
Hahaha, dia nggak mungkin tau. Bisik
gue dalam hati.
“Kalau
aja umur kamu lebih tua dari aku dan seagama, pasti ceritanya akan lain. Hehe.
Yaudah aku duluan yha.”
Anjrit, she knows it.
FAK!
……..
………
Tentang
menikah?
Mungkin
benar, bagi sebagian atau bahkan banyak orang, menikah adalah tujuan. Dan mungkin
juga benar bahwa menikah adalah impian. Dan mungkin juga benar jika menikah
adalah guna mencapai kebahagiaan. Tapi gue tetep memilih menikah dengan prinsip
ini,
Menikah
muda tak semerta-merta menyelamatkan, menikah terlambat tak lantas sampai pada
tujuan.
We are our own happiness.
Wrote by Don Juan