Gue
pernah baca di sebuah situs, katanya, seorang cowok sebelum menemukan cewek
yang akan menemaninya seumur hidup, setidaknya si cowok bakal pacaran sama
kurang lebih 2-4 cewek terlebih dahulu. Dengan kata lain, sebelum gue nikah, akan
ada 2-4 cewek, atau mungkin bisa lebih –yang akan menjadi harga yang harus gue
bayar sebelum akhirnya menemukan yang terakhir. Awalnya gue nggak percaya, tapi
kalau diliat-liat, kayaknya bener deh.
Toh,
jarang banget ada orang yang bisa langsung nikah hanya dengan sekali atau dua
kali pacaran. Bahkan Acong, temen gue yang selalu gue bunuh karakternya di
setiap tulisan gue, (maafin kesalahan-kesalahan gue ya Cong, abis lebaran ni,
hehe), udah macarin 5 cewek selama 10 semester kuliah di Jogja. Dengan
penampilan yang ala kedarnya, dia udah mematahkan paradigma bahwa cowok yang
pas-pasannya di berbagai lini itu nggak akan laku. Di balik kemasannya yang udah
expired, dia menyimpan madu dan racun
bagi setiap perempuan yang didekatinya..
Kurang
lebih, gue nggak jauh beda sama Acong. Selama kuliah di Jogja, gue udah pacaran
4 kali. Kalau ditotal sama jaman SMA, mungkin gue juga akan mematahkan doktrin
tentang cewek yang cuma demen sama cowok cakep. Ternyata, gue masih bisa
bersaing di belantika dapetin cewek cakep Indonesia. Saking mematahkan doktrin
tersebut, gue kalau di jalan papasan sama cewek cakep, langsung reflek nyapa,
“Eh,
dulu kamu pernah mutusin aku kan, ya?”
Lah, kok gini..
(Aturan
gue nulisnya, “Eh, kalau nggak salah kamu pernah jadi pacar aku kan, ya? Dulu
kamu ngantre gitu buat jadi pacar aku. Hayoo, lupa yaa..”)
Sayang,
takdir berkata lain.
Banyaknya
turnover atau comes and goes yang harus gue alami sampai hari ini, membuat gue
berdamai dengan diri sendiri. Ternyata mereka –yang seringkali gue sebut
sebagai kegagalan –ternyata bukanlah sebuah kegagalan. Gue akhirnya melihat ini
sebagai tipe pacar yang harus gue alami di hidup ini. Gue nggak memandang
tipe-tipe pacar ini dari sudut pandang zodiak, sifat bawaan, atau teknis dalam
memahami, atau apapun. Gue coba angkat dari sisi yang paling nggak penting,
yaitu dari tingkat keenakan seorang
pacar saat dipacarin. Kemudian gue kolaborasikan dengan tingkatan atau jenjang
karir kita di dalam hidup ini.
Apaan, kalimat di atas itu salah banget. Untuk bisa pacaran sampe nikah, hanya perlu satu kata: Seagama |
Berikut
adalah tipe-tipe pacar yang pasti akan kita temukan di hidup yang fana ini..
=====
PACAR YANG CUMA ENAK
DIPACARIN WAKTU SMA
Masa
SMA bisa dibilang jadi masa-masa terindah yang mungkin setiap dari kita alami.
Mungkin yang anak STM nggak sih... tapi anggap aja SMA adalah ajang pelampiasan
gejolak kawula muda pertama kita di hidup ini.
Terutama
pas pacaran.
Gue
baru punya hape ketika kenaikan kelas 11 SMA. Saat itu, Nokia N-Gage adalah
sebangsa Iphone 6plus saat ini. Gaulnya udah di tingkat yang mengkhawatirkan. Nggak
ada lagi nelpon gebetan pake telepon rumah lewat modus nanya PR. Semua udah di
genggaman tangan. SMS dan telponan di kamar udah jadi ritual sehari-hari
setelah lelah tawuran sepulang sekolah. Nggak enaknya pacaran waktu SMA, kita
nggak bisa pacaran sampe malem. Satu-satunya pacaran yang bisa sampe jam 8
malem, ya karena bimbel bareng. Maklum, pacaran syariah..
Sebut
saja Nabila –cewek yang membuat telepon rumah gue selalu berdering jam 8 malam
dan selalu memenuhi inbox hape gue. Pacarannya juga cuma gitu-gitu aja, dia selalu
nontonin gue ekskul basket dari pinggir lapangan. Nontonin gue yang cuma jadi
cadangan mati. Begitupun sebaliknya, gue selalu nontonin dia pas lagi ekskul
tari Saman. Gara-gara seminggu dua kali nontonin dia ekskul, gue jadi merasa
bahwa passion gue bukan di basket,
tapi jadi penari Saman.. uhh.
Kami
nggak pernah pulang bareng. Dia dijemput supir pribadi, gue dijemput supir
metromini. Kami cuma jalan pas hari Sabtu, main bowling di Pasaraya Grande Blok
M. Minggunya dia ke gereja, gue cuma
bisa menyebut namanya keras-keras di dalam hati. Tanpa gue sadari, doa
gue menjadi panjang hanya karena menyebut namanya berkali-kali, walau dengan
cara yang berbeda..
Beda
agama sejak dini..
Adegan
putus yang sering terjadi di belantika pacaran anak SMA adalah di detik-detik
menjelang UAN dan menjelang SNMPTN. Akan banyak ditemukan couple-couple yang
bubar jalan lewat kalimat, “Kita udahan dulu ya, aku mau fokus UAN.” Atau juga
bisa dengan kalimat, “Kita sampai di sini aja ya, aku mau fokus masuk UI.”
Mahligai
pacaran yang kami bangun pun sampai di level dia keterima di Universitas Negeri
di Bogor, gue keterima di Universitas Negeri di Jogja. Kami bubar jalan. Bahkan
dia menolak mentah-mentah upaya gue untuk membangun hubungan jarak jauh. Dari
sanalah bibit kebencian gue terhadap LDR dimulai. Gue nggak membenci jarak jauh
yang kampus kami ciptakan, yang gue benci adalah ketidakmauan dirinya yang
bahkan nggak memberi kesempatan cinta untuk tumbuh di sela-sela kekosongan yang
jarak jauh ciptakan.
Gue
benci itu.
Mungkin
benar, Nabila cuma salah satu dari sekian banyak cewek yang cuma enak dipacarin
sewaktu SMA. Dan mungkin benar, kalau ini cuma cinta monyet yang tumbuh di
awal-awal hidup anak muda yang cuma buat lucu-lucuan, yang cuma dibuat
nyengir-nyengir saat diingat-ingat tua nanti.
Dan
mungkin benar, hidup adalah perjalanan mengenang perempuan satu ke mengenang
perempuan lainnya..
PACAR YANG CUMA ENAK
DIPACARIN WAKTU KULIAH
Keputusan
gue untuk kuliah di Jogja bukanlah sebuah kebetulan. Kota pelajar itu telah
mengajarkan banyak hal. Jogja adalah tempat paling baik untuk menimba ilmu. Dan
juga tempat untuk menimang patah hati. Walaupun patah hati bisa terjadi di mana
saja, buat gue, Jogja adalah tempat paling baik untuk patah hati. Kalau kamu
membuka arsip blog ini, di sana bisa kamu temukan kumpulan cerita patah hati
selama gue di Jogja. Dari gebetan yang berakhir menjadi nggak lebih sekedar
teman, berakhir menjadi pacar walau cuma tiga bulan, berakhir menjadi pacar
orang, atau bahkan menjadi istri orang. Tapi dari sekian banyak, ada satu cewek
yang hampir nggak pernah gue ceritakan..
Cinta
pertama sekaligus patah hati terhebat..
Ini
terjadi pas hari pertama gue ospek kampus dan ketemu Yoshi..
Jadi
gini,
Ah,
nggak jadi cerita.
Nggak
mood.
Asli
gue kesel, tiga hari yang lalu gue dikasih screen
capture sama temen dari postingan Path-nya Yoshi. Dia baru melahirkan anak
pertamanya. Satu persatu luka jahitan di hati gue terbuka kembali, memuncratkan
banyak kenangan saat tangannya masih di genggaman tangan gue. How time flies so fast. Bahkan ketika
gue udah melewati kebersamaan dengan beberapa perempuan lain selain dirinya
selama sepuluh semester kuliah, dan bahkan sampai hari ini ketika gue udah
berdamai dengan semua masa lalu –masih ada satu ruang kecil di sudut hati gue
yang isinya adalah tumpukan kertas usang yang berisi pernyataan kalau gue nggak
pernah benar-benar merelakannya.
Selain
ilmu patah hati, gue juga menimba ilmu ikhlas. Gue harus ikhlas dan lapang dada
saat gue menemukan fakta bahwa yang nemenin kamu dari awal belum tentu nemenin
kamu waktu wisuda. Selama sepuluh semester, nyatanya gue udah mejeng di tiga
foto wisuda dari tiga perempuan berbeda.
Dan
yang nemenin gue wisuda, beda lagi.
Pacaran
anak kuliahan itu begitu manis. Sangat berbeda dengan pacaran anak SMA. Bahkan
nyaris 24 jam gue bisa bersama pacar. Iya, waktu gue sama dia jaga warnet
bareng. Suap-suapan monitor sama keyboard.
So sweet abis.
Saking
manisnya, saking romantisnya, saking banyaknya waktu yang gue habiskan
bersamanya, semakin nggak kuasa gue menahan pahit dan derita di belakangnya. Gue
lupa, ternyata abis wisuda itu nyari kerja. Gue masih di Jogja, dia keterima
kerja di Jakarta. Gue ngejar karir di Jakarta, dia nggak mau pergi ninggalin
Jogja.
Dan
hal yang paling gue benci pun terulang lagi. Nggak semua orang mau nerima
kondisi bahwa jarak itu ada dua: jauh dan dekat. Dan sialnya, nggak semua orang
mau memberi kesempatan kepada cinta untuk tumbuh di sela-sela kekosongan yang
jarak jauh ciptakan.
Dan
sialnya lagi, gue selalu jadi pihak yang mengupayakan, yang meyakinkan bahwa
cinta itu dinyatakan dengan satuan kepercayaan, bukan satuan kilometer. Sedang
dia ada di pihak untuk meragukan dan menyanggah bahwa cinta itu dinyatakan
dengan ciuman di kening dan bibir, bukan dengan ciuman di kening gagang
telepon.
Mungkin
benar, mereka hanyalah perempuan-perempuan yang menjadi harga yang harus gue
bayar untuk bertemu dengan the real
tambatan hati. Dan mungkin benar, mereka memang cuma enak dipacarin saat jaman
kuliah, saat masih belum diberi tanggung jawab lebih besar, saat masih nggak
begitu banyak mikirin hal-hal berat kayak kerjaan dan rumah tangga.. dan saat
cuma mikirin kebersamaan di hari ini, belum mikirin harus bagaimana menjaga
kebersamaan di hari nanti.
Dan
mungkin benar, hidup ini adalah perjalanan dari perpisahan satu ke perpisahan
lainnya..
PACAR YANG ENAK
DIPACARIN WAKTU UDAH KERJA
Kalau
pacaran anak kuliahan itu bebas, pacaran pas udah kerja itu, buat gue, lebih
dari bebas. Walaupun kadang ketemunya nggak bisa kayak ketemunya anak kuliahan,
yang 24 jam bobok bareng tanpa perlu pusing mikirin besok mau jadi kayak apa,
gue mulai menikmati pacaran ketika udah sama-sama punya tanggung jawab
pekerjaan. Rasanya pacaran pakai uang hasil keringat sendiri itu enak banget.
Nggak perlu lagi nelpon ortu pakai modus beli buku atau fotokopi materi ujian.
Pas udah kerja, ketemunya juga dengan cewek yang lebih dewasa dari anak kuliahan.
Sebut
saja Rani, senior gue di kantor yang membuat gue jatuh cinta. Cinta satu atap
namun berbeda divisi nampaknya memang sering terjadi di hidup gue seperti waktu
kuliah dulu. Walau usianya hanya lebih tua satu tahun dari gue, sosoknya di
mata gue sangat keibuan. Bahkan di usia pacaran yang kurang dari sebulan, Rani
bisa menjadi seperti ibu kedua buat gue. Bahkan soal finansial, Rani sangat
loyal ke gue. Jenis pacaran yang nyaris nggak gue temukan saat kuliah. Saat
menatap matanya, gue yakin, she is the
one..
Yang
gue lupa adalah, ternyata usia Rani adalah usia yang di Indonesia adalah usia
yang harus udah menikah. Ketika gue masih ingin menyiapkan segala hal untuk
bisa ke jenjang yang lebih serius, hanya diberi kesempatan sepersekian detik
–seperti hanya memejam yang kemudian saat gue membuka mata, Rani udah pergi
meninggalkan gue.
Ada
lelaki lain yang datang untuk melamar Rani. Dia adalah mantan Rani yang sudah
putus selama dua tahun. Rani bahkan nggak memberi kesempatan ke gue untuk
membuktikan kalau gue mampu menikahinya kelak. Ketika gue mulai menikmati
pacaran yang serba mandiri dan sangat terorganisir di usia kerja seperti ini,
ada hal lain yang ternyata lupa gue perhitungkan.
Ya,
ketergesa-gesaan soal urusan nikah.
Kadang,
gue suka kesel sama tingkat ketergesa-gesaan seorang cewek dalam urusan
menikah. Di Indonesia, cewek di atas usia 26 haruslah sudah menikah. Semakin
lewat dari usia itu, tekanan yang diberikan pada seorang cewek akan semakin tinggi.
Satu-satunya kalimat Rani yang sampai hari ini membekas di kepala gue adalah,
“Kamu nggak benar-benar sayang sama aku, kalau kamu sayang, pasti kamu akan
nikahin aku tahun ini.”
“Kamu
nggak akan bahagia sama gunting batagor itu.” Sanggah gue padanya.
“Dia
emang nggak ganteng, tapi dia mau nikahin aku. Nggak kayak kamu.” Jawabnya
pelan, sambil sedikit mengusap air matanya.
ANJAY.
Gue
baru pacaran sama dia belum genap tiga bulan.
INI NGAPA BURU-BURU AMAT SIH?
Nggak
ada yang salah sih dengan nikah cepet, yang salah cuma satu, Rani nikahnya sama
asbak warteg. Kadang gue jadi mikir, saking diburu-buru nikah, standar memilih
pasangan hidup bisa didiskon abis-abisan. Walau gue telah mendoakan yang
terbaik untuk Rani, gue selalu yakin bahwa Rani nggak benar-benar cinta sama
suaminya. Gue hanya bisa mendoakan dirinya sambil tersenyum dalam-dalam tentang
rasanya ditinggal nikah untuk kali yang kesekian. Gapapa, sebab mendoakan tak
harus memiliki..
Sebelum
memberikan pelukan terakhir padanya, dia berbisik tepat di depan mata gue,
“Di
hidup ini kita tak harus bersama dengan yang terbaik..”
Kalimat
sangat pelan yang begitu keras mendarat di kepala gue.
Mungkin
benar, belajarlah pada pertemuan tentang bagaimana indahnya mengawali sebuah
perpisahan.
Dan
mungkin benar, Rani cuma salah satu cewek yang enak dipacarin pas udah kerja,
memang bukan untuk selamanya, tapi tanpanya, mungkin gue nggak akan sekuat hari
ini..
=======
Pada
akhirnya, seperti apakah tipe pacar yang enak dipacarin? Ya, gue sebenernya nggak menjawab apapun.
Nggak pernah ada tipe pacar yang sempurna yang bisa bahagiain kita seperti yang
kita inginkan.
Toh,
gue punya temen yang pacaran dari jaman SMA dan awal 2016 kemarin baru nikah.
Gue punya temen satu jurusan di kampus yang pertengahan 2015 nikah dengan cewek
yang sama yang nemenin dia waktu wisuda. Gue juga punya temen satu kantor yang
menikahi ceweknya yang kantornya cuma depan-depanan sama kantor gue.
Intinya
adalah..
Ya
nggak ada. Nggak semua harus ada pesan moralnya kan.
Security
di kantor gue, di tengah kegalauan gue, pernah menepuk pundah gue dan berbisik,
“Mas jangan nyerah buat pacaran lagi, toh ending-nya cuma dua. Kalau nggak jadi
mantan, ya jadi manten.. Hehe.”
Anjay,
punchline khas om-om gini..
Wrote by Don Juan