“Putus
sama pacar itu mudah, yang susah itu kehidupan setelahnya.” Ya, kalimat sederhana
yang ditwit seleb papan atas dan mendapat retweet
lebih dari tiga ribu kali di tahun 2012 itu, memang banyak diiyakan oleh anak
muda di Twitter.
Kata
kuncinya adalah: kehidupan setelahnya.
Iya
benar, kehidupan saat bersama dia dan kehidupan setelah tanpa dia, jelas sangat
berbeda. Kita jadi punya jobdesc yang
berbeda. Dulu saat gue masih bertugas menjadi pacarnya, tugas gue sangatlah
sederhana. Gue cuma menjaga agar senyumannya tetap ada di sana, di wajahnya.
Tugas gue hanya bikin dia ketawa lewat materi-materi stand up gue yang nggak
pernah lucu, tapi dia ketawa. Di sanalah gue melihat cinta bekerja. Untuk
tertawa, kita hanya perlu jatuh cinta.
Selain
membuatnya tertawa, gue juga bertugas menyangga tangisnya. Cewek itu suka
menangis untuk hal-hal yang berat. Berbeda nggak kayak gue yang suka menitikkan
air mata untuk hal-hal kecil. Gue berlinangan air mata ketika kelingking kaki gue
kepentok meja. Gue menyerah pada kehidupan yang fana ini ketika gue bikin
popmi, terus nyeduh pakai air dispenser yang belum panas. Gue juga suka nangis
dalam hati ketika mesen makan, terus makanan yang gue makan udah abis, tapi
minumannya belum dateng. Pokoknya yang nggak ditangisin sama cewek, pasti gue
tangisin.
Dalam
seminggu, pasti ada satu atau dua hari di mana dia akan menangis, dan gue
datang untuk membuatnya bersandar, di dada yang paling tegar. Di sanalah gue
melihat cinta bekerja, cinta menjadikan dada gue sebagai tempat yang selama ini
ia butuhkan, tempat ia pulang, tempat di mana semua kebahagian ia dulang.
Setelah
membuatnya tetap tersenyum dan tetap tidak menangis, tugas sederhana gue
lainnya adalah menemaninya. Tetap berada di sampingnya sejauh apapun jarak yang
mungkin nanti akan tercipta. Menemaninya adalah tugas paling sederhana
sekaligus tugas paling berat yang pernah gue lakukan. Gue harus selalu ada di sampingnya
setiap momen paling nggak penting dan momen paling krusialnya. Yang paling
nggak pentingnya, gue harus selalu ada di sampingnya ketika dia sedih foto
selfinya di path nggak ada yang nge-love. Yang paling krusialnya, gue harus ada
di sampingnya ketika dia harus menghadapi hasil tespeknya yang garis dua.
Waduu,
krusial bener..
Tapi,
setelah tidak lagi bersamanya, ketika menjadi mantan, tugas gue sudah berbeda.
Gue dibebas-tugaskan dari hal-hal di atas. Di kehidupan setelah putus
dengannya, gue nggak punya kerjaan kayak pas masih pacaran. Tapi tunggu sebentar, apa yang akan terjadi
ketika orang yang sudah berbulan-bulan, atau bertahun-tahun melakukan hal yang
sama dan tidak merasa terbebani, tiba-tiba langsung dibebas-tugaskan atau disuruh berhenti? Ibarat
di-PHK dari kantor tempat di mana sudah bekerja puluhan tahun tanpa pesangon.
Ibarat lagi makan boncabe, baru ditabur dikit ke nasi, eh disuruh udahan.
Ibarat lagi nyium pipi pacar, terus turun ke bawah, begitu bibir ini sampai di TKP,
eh ibu kos gedor-gedor pintu.
Di sanalah sulitnya kehidupan setelah putus, kita harus mengubah kebiasaan.
Kita
nggak bisa berhenti gitu aja, kita nggak bisa berakting seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Hebatnya
cinta, membuat kita saling mencintai dengan sangat tergesa. Celakanya, kita
tidak dicipta untuk berhenti secara tiba-tiba.
Di
sinilah sosok mantan kehilangan mata pencaharian.
What am I suppose to do now?
Berikut
adalah jalan yang dipilih para mantan untuk mengisi hari-hari setelah tidak
lagi bersama kita. Inilah tipe-tipe mantan yang pasti akan kita temui di hidup
yang fana ini..
Pic from: liputan6.com |
======
THE ARCHENEMY
Ini
adalah jalan yang pasti diambil oleh para mantan. Dari seratus persen, 90% akan
memilih menjadi archenemy atau musuh
bebuyutan. Bad relationship changed good
people, yang tadinya baik, hitungan detik bisa menjadi kebalikannya. Filosofinya
sangat sederhana, yaitu filosofi nol atau seratus persen. Selamanya bersama,
atau tidak usah sama sekali. Kalau aku tidak bisa menjadi orang yang paling kamu
cinta, izinkan aku untuk menjadi orang yang paling kamu benci. Sangat sederhana
dan bisa gue terima dengan mudah.
Ini
juga yang terjadi ke gue saat masih berpacaran dengan sebut saja, Yasha. Ketika
gue memutuskan untuk pacaran dengan seseorang, gue juga harus menerimanya
beserta seluruh masa lalunya, trauma-trauma di masa lalunya, dan juga.. mohon
maaf, anjing!-mantannya.
Sialnya gue
saat itu, mantannya Yasha memilih untuk menjadi Archenemy bagi Yasha. Mereka
sangat bermusuhan satu sama lain. Mereka saling nyindir satu sama lain di
berbagai sosial media. Twitter dan Path adalah sarang sindir bagi mereka.
Mereka saling memaki ketika sudah saling tidak memuja. Baru dua bulan
berpacaran dengan gue, Yasha sudah terhitung menangis sebanyak enam kali karena
ulah mantannya.
Sialnya lagi, Yasha menangisi mantannya di depan gue. Terisak-isak
di pelukan gue. Saat dia menangis, hati gue hancur di dua bagian. Sebelah hati gue hancur
karena nggak tega melihatnya menangis, sebelahnya lagi hancur karena tau bahwa
Yasha belum benar-benar pergi dari masa lalunya. Terkuak semua cerita-cerita
manis di antara mereka yang diungkit-ungkit mantannya.
Dan
sialnya lagi, gue nggak boleh marah, namun harus bersikap dewasa. Gue harus
menjadi angin segar, harus menjadi motivator untuknya. Nggak boleh nggak.
Anjing.
Posisi
gue saat itu menjadi sangat sulit. Gue teringat tugas gue yang harus
menemaninya di situasi paling krusial atau paling sulit. Gue harus denger
curhatan tentang mantannya. Gue yang harus menyangga tangis Yasha akibat ulah
mantannya.
Dan
yang paling sialnya lagi, ketika akhirnya gue putus dengan Yasha, Yasha
memvonis gue sebagai sosok yang paling menghancurkan hidupnya. Padahal, Yasha
datang ke pelukan gue dalam kondisi sudah hancur, dan gue adalah lelaki yang merapikan semua
serpihan demi serpihan dirinya. Gue yang merawat lukanya, gue yang menyusun
senyumannya kembali satu per satu. Dan ketika gue gagal menjadi angin baru bagi
hidupnya, gue yang dituduh paling menghancurkan hidupnya.
The
worst mantan, ever.
Don’t be an archenemy to your ex.
Just don’t.
Forgive them.
THE PERFECT ONE
Sebelum
gue bertemu dengan dirinya, gue adalah asing baginya. Begitu juga sebaliknya,
gue adalah asing untuknya. Namun, saat itu kita tak sadar bahwa cinta tengah
bekerja di antara kita. Ratusan bahkan ribuan kilometer kita pangkas tinggal
menjadi sehasta. Di dekatmu, aku selalu menerka-nerka seberapa dekat dengan
bahagia. Namun, apa yang berawal dari asing, pada akhirnya akan kembali menjadi
orang asing.
Inilah
mantan terbaik yang mungkin akan kita temukan di hidup ini. Mantan tipe seperti
adalah mantan paling sempurna. Dia nggak akan ganggu kehidupan kamu setelah dia
udah nggak bersama kamu. Dia bahkan nggak akan menelpon, whatsapp, BBM, atau
line, atau apapun bentuk komunikasinya.
Bahkan dia nggak akan ngepoin semua
sosmed kamu. Dia sudah sibuk dengan hal baru. Dia kembali menjadi orang asing
layaknya nggak pernah ketemu kamu. Dia akan menghilang gitu aja kayak flesdis
yang kamu colok di warnet terus pulangnya lupa diambil, terus besoknya udah ilang. Dia akan menghilang gitu aja kayak gebetan yang tau
kalau kamu sama dia ternyata beda agama.
Kabar
baiknya, dia sangat membantu kamu untuk move on selama bukan kamu yang stalking
atau ngepoin dia.
Gue
adalah tipe mantan yang kayak gini. Ke-tidak-mau-ribetan gue dan
ketidakpedulian gue terhadap hal yang menyakitkan membuat gue cuek dan apatis.
Toh, dengan atau tanpa gue, dia tetep bahagia, tetep punya pacar baru, tetep
selfi-selfi di path, dan tentu saja tetep hidup walau dia sering bilang kalau
dia nggak bisa hidup tanpa gue.
Sempurna..
THE MOTIVATOR
Ini
juga pernah terjadi ke gue. Ketika masih pacaran dengannya, sebut saja Murni, dia jarang sekali
memperlihatkan sifat bijak dan dewasa. Semua biasa saja. Gue dan dia layaknya
dua orang dewasa yang ingin selalu menjadi anak kecil. Berusaha untuk tidak
menjadi sangat pintar. Karena kalau salah satu dari kami merasa dewasa dan
merasa lebih pintar, kami akan saling meninggalkan satu sama lain. Mencari yang
lebih baik, yang lebih berguna bagi bangsa dan Negara.
Sampai
pada akhirnya masing-masing dari kami memutuskan untuk kembali menjadi dewasa
dan merasa lebih pintar juga lebih bijak, kami memutuskan untuk berbeda jalan.
Namun, masalah nggak selesai sampai di situ.
Dia
masih berusaha untuk menghubungi gue, dan anehnya, dia tampil di gagang telepon
layaknya motivator berdasi yang berusaha membakar semangat audiens agar mau
resign dari kantor dan membuka usaha karena satu-satunya jalan menuju sukses
adalah dengan membuka usaha.
Kalimat
bijak dan sarat petuah menghiasi telinga gue setiap harinya. Dia menceramahi
gue agar bisa cepat move on darinya. Oh wow, sungguh kepercayaan diri yang
patut diapresiasi. Dia juga meminta gue agar bisa bahagia dengan cewek yang
baru, dan mengingatkan gue untuk menjadi sosok pria yang lebih dewasa dari hari
kemarin. Gue mendengarkannya sambil tertawa.
Dan kampretnya lagi, dia membawa semua quote-quote yang menurut gue nggak
quote-quote amat di setiap chat gue dengannya. Banyak postingan instagram
di-send ke chat gue. Line Dakwah pun tiba-tiba jadi menghiasi kolom aplikasi
chat gue.
Pertanyaan
gue saat itu sangat sederhana, mengapa dia begitu peduli dengan gue saat gue
sudah tidak lagi peduli dengan semua yang dia katakan?
THE M.W.B
Gue
kira selama ini cuma temen yang bisa jadi benefit, ternyata mantan juga bisa. Mantan with benefit. Sayangnya, gue
belum pernah ketemu dengan mantan yang bertipe seperti ini. Mungkin hanya ada
1% chance gue ketemu dengan mantan
yang kayak gini. Acong, temen kos gue di jaman kuliah, pernah mendapat mantan
yang sangat langka ini. Entah keracunan apa, Sasha, mantannya Acong yang sudah
putus selama satu semester itu, kembali mencari Acong. Mungkin dia benar-benar
nggak bisa pindah dari Acong – temen
gue yang perawakannya kayak tukang kue putu itu.
Acong
pun sering bertanya ke gue perihal kelakuan mantannya yang membabi buta minta
balikan sama Acong. Gue yang IPK-nya 4.00 kalau digabung sama IPK Acong, cuma
bisa bilang kalau Sasha masih sayang. Gue juga bilang ke Acong kalau kalian
sangat cocok, dan putusnya juga karena hal yang sangat sepele. Waktu makan
bubur ayam sama Sasha, Acong yang belum sembuh total dari diare, nggak sengaja
kentut. Saat itulah Sasha minta putus dari Acong. Mungkin Sasha melihat noda
coklat layaknya kuah kaldu bubur ayam di
pantat Acong. Merasa sangat iyuuh, Sasha
pun meninggalkan Acong.
Acong
mewanti-wanti gue untuk nggak menceritakan ke orang lain atau mengungkit-ungkit
kejadian itu. Namun, karena gue temen baik Acong, satu kampus tau kalau Acong cepirit pas lagi kencan sama Sasha.
Acong
cuma bisa nangis di kolong tangga.
Kembali
ke Sasha, Acong sangat heran dengan apa yang terjadi pada mantannya itu. Sasha
jadi makin perhatian melebihi perhatian yang pernah ia berikan semasa pacaran.
Bahkan, saat Acong nggak punya duit, Sasha menjadi ATM berjalan buat Acong.
Bahkan, Sasha ninggalin motornya di kos gue, supaya Acong bisa memakainya
setiap hari ke kampus.
Wtf, how lucky this fakin’ bastard
but my friend, Acong.
Gue
sempet sedih sama Sasha. Cewek secantik Sasha bisa kehilangan jati diri karena
mencintai Acong. Apalagi Acong udah punya pacar baru. Dan hebatnya, pacar baru
Acong jauh lebih, mohon maaf, jelek..
Eh, kurang cantik, eh maksud gue karya anak bangsa, eh entahlah apalah itu.
Melihat
keuntungan-keuntungan yang diberikan Sasha, Acong yang notabene juga lelaki,
yang layaknya kucing ngeliat ikan asin, yang ngeliat cewek cantik pasrah mau
diapakan saja, mulai memanfaatkan Sasha lebih jauh. Acong jadi sering jalan
bareng lagi sama Sasha.
Sampai
akhirnya, ketika gue udah nggak pulang ke kos selama tiga hari karena nginep di
sekre jurusan, dan akhirnya pulang ke kos untuk ngambil baju. Kebiasaan gue
sebelum masuk kamar adalah minta air minum di kamarnya Acong. Sebab ada
peraturan tak tertulis yang menegaskan bahwa air galon Acong adalah air galon
gue juga.
Begitu
membuka kamar Acong, gue kaget dan menjerit dalam hati.
Ada
Sasha yang cuma mengenakan tank top dan sempak, tertidur pulas di kasur Acong.
Gue
iri sama Acong, mantannya memberikan apa yang mantan gue nggak pernah berikan.
Bener-bener
memberikan benefit..
Di akhir cerita, gue cuma bilang ke Acong, "Cong, kadang kita memang nggak selalu bisa bersama dengan yang terbaik, namun lo bisa memilih untuk bersama dengan seseorang yang paling lo butuh. Dan Sasha, mantan lo itu, adalah satu-satunya yang lo butuh. Nggak selamanya lo bisa mendapat kesempatan yang sama dua kali, jangan sia-siain Sasha."
Acong nangis di depan gue.
Anjing.
THE MOST ANNOYING ONE
Menurut
gue, tipe mantan yang kayak gini adalah tipe mantan yang paling nggak penting
dan paling ganggu. Seperti halnya tipe Archenemy, tipe motivator, dan tipe MWB,
tipe mantan yang paling ganggu ini adalah contoh mantan yang masih akan
menghubungi kamu walau kalian sudah putus lebih dari enam bulan atau bahkan
sudah menginjak tahunan.
Perbedaannya,
mantan tipe ini nggak ngajak kamu berantem, dia juga nggak nyindir kamu di
sosmed, dia juga nggak akan memberikan kamu wejangan yang sarat petuah di
berbagai kesempatan, dan dia juga nggak akan bayarin SPP kamu ataupun ngasi jatah lagi ke kamu.
Dia
cuma akan menghubungi kamu dengan cara yang paling tidak ingin kamu baca juga
dengar.
“Kamu
lagi apa? Aku kangen.”
Muka gue pas baca baca "aku kangen." darinya. |
Kalau kamu belum jadian lagi, kalimat ini adalah tackling telak buat langkah move-on yang sudah jauh. Ibarat kamu lagi lari, terus kamu dislengkat dari belakang. Kamu hancur berserakan. Cedera hamstring. Kalau kamu sudah punya pacar, ini bisa jadi tamparan telak buatmu. Iya, kamu ditampar sama pacar barumu yang nanya, “Itu SMS siapa?! Kok bilang kangen ke kamu?!! Kok diem?!! JAWAB!!!”
PLAKK.
The hardest part
bukanlah pada kalimat “aku kangen”, melainkan isi curhatan setelahnya ketika
kamu tanggapi kalimat mematikan tersebut. Bagian paling kampretnya adalah,
ketika kamu mengetahui alasan di balik omongan kangennya ke kamu. Asli, nggak
penting tapi nyakitin.
Sialnya,
gue adalah cowok yang hampir selalu ketemu mantan yang annoying kayak gini. Gue yang tipikalnya adalah menghilang,
membiarkan luka disembuhkan sendiri oleh waktu walau nyatanya not much healing, selalu kena yang
namanya hello from the otherside (baca:
kangen) dari mantan.
Belum
reda keselnya gue setelah menerima kalimat kangen yang terdengar sungguh
kampret itu, gue jadi makin kesel ketika mengetahui alasan di balik ucapan
kangennya itu. Ya, saat dia berusaha menyapa gue dengan semua kalimat manisnya,
ternyata dia sedang berantem hebat
dengan pacar barunya.
Anjing, bodo amat!
Gue waktu tau kalau dia berantem sama pacar barunya. |
“Kemarin
malem aku berantem sama dia.” Kalimat
darinya setelah dia berbasa-basi cukup lama dengan menanyakan gue lagi apa bla
blabla. (NB: saat membaca kata “dia”
di chatnya, gue reflek teriak bodo amat!
dengan sangat kencang).
“Oh
yaudah.” Balas gue, dingin.
Ternyata,
gue salah besar. Jawaban dingin yang menurut logika berpikir sederhana gue akan
membuat dia malas melanjutkan chat, malah berbalik seratus delapan puluh
derajat. Dia malah makin gencar menceritakan masalah tiap masalah yang menerpa
rumah tangga dengan pacar barunya. Setiap kalimat yang dia enter di aplikasi chatnya, selalu gue reflek dengan berteriak bodo
amat.
Ternyata
cobaan gue belum selesai sampai di situ. Setelah menerima chat panjang darinya
yang kalau gue kopas ke Microsoft word bisa jadi Bab III di skripsi, akhirnya
sampailah gue di depan pintu gerbang kemerdekaan. Sebuah kalimat skakmat.
“Tapi
setelah semua kejadian ini, kamu tetaplah yang terbaik buat aku, aku akan
selalu sayang sama kamu.”
TETEP YANG TERBAIK PALALU BOHLAM
KANDANG!
SELALU SAYANG SAMA GUE KETEKLU BAU
PETASAN BANTING!
Reaksi gue ketika mantan masih bilang gue tetap jadi yang terbaik. |
Sesaat
setelah membaca kalimat tersebut, gue merasa menjadi orang yang sangat jahat.
Gue tertawa begitu keras di atas penderitaannya. Ketika membacanya sekali lagi,
ada dua rasa yang berkolaborasi di kepala gue: rasa bahagia dan rasa lega. Rasa
bahagia karena gue tau kalau pacar barunya ternyata nggak bagus-bagus amat, dan
rasa lega karena beban gue seperti hilang. Gue udah nggak galau ketika
dicurhatin dia, melainkan illfeel.
Mungkin,
bahan bakar moveon itu tidak harus selalu dengan mendapat penggantinya yang
baru, melainkan rasa ilfil yang gue dapat karena curhatannya.
Itulah
kali terakhir gue melihatnya, melalui layar hape, dan gue nggak akan melihatnya
lagi untuk jangka waktu yang nggak gue tentukan. Mungkin selamanya, mungkin
juga seumur hidup.
Semoga
kita selalu berbahagia, sebab selalu ada yang lebih baik di hidup ini.
No matter how hard you deny,
someday you will believe it.
======
Mungkin
itu cuma beberapa tipe mantan yang pasti akan kita temui di hidup ini. Mantan
kamu yang tipe apa?
Gue
akhiri tulisan tentang mantan yang tak seberapa ini, dengan kalimat dari
pujangga yang telah menelurkan buku barunya, Di Hadapan Rahasia,
“Jika tak berniat mewarnai
hidup seseorang, jangan pudarkan warna aslinya.”
Sebagai mantan yang telah gagal mewarnai hidup seseorang, kita tak pantas untuk menjelek-jelekkannya di kemudian hari.
Wrote by Don Juan